65

141 28 0
                                    

“Jadi, rencana kita untuk saat ini benar-benar hanya menunggu? Ayolah, El, itu benar-benar membosankan!”

Remember the rules, Jake. Keep your friends close, but your enemies closer,” ujar El sambil terus mendengarkan rekaman yang semalam ia putar berulang-ulang hingga kepalanya akhirnya bisa membayangkan bagaimana TKP pembunuhan Gisella Kim.

Mungkin El tidak pernah bisa melihat TKP dengan matanya, tapi ia bisa mendengarkan TKP lewat kedua telinganya. Mendapatkan clue yang terlewat mata, dan satu dua bukti yang terlewat oleh polisi dan mungkin terlewat oleh Liam dan Jacob.

“Tapi, El, white rose sangat berbahaya. Si brengsek itu pembunuh berantai! Jadi, aku pikir menunggu bukanlah hal yang tepat! Kau juga setuju kan, Liam?”

Namun, Liam tidak merespons. Ia masih diam di tempat duduknya sambil memandangi ponsel. Dan sungguh, ia tidak suka dengan apa yang tengah anak buahnya laporkan padanya.

Foto itu membuat kepala dan hati Liam terasa sakit. Liam benar-benar baru tahu, jika cemburu rasanya bisa sangat menyakitkan dan semenyesakkan ini. Jantung, kepala, pembuluh darah, dan kulitnya seperti terbakar. Semua emosinya seolah menyatu di kepala dan siap meledak kapan saja.

“Oh, bos! Lihat betapa tidak profesionalnya anak buahmu! Saat rapat Liam malah bermain ponsel!”

Liam akhirnya mengalihkan pandangan dari ponsel dengan ekspresi tidak ramah sama sekali.
“Rapatnya sudah selesai kan, El?” tanya pria itu yang langsung direpons dengan anggukkan mengiakan dari El.

“Sudah, kamu boleh pergi sekarang.”

“Hei! Kalian benar-benar tidak mendengarkan pendapatku, ya? Pembunuhan ini masalah serius!” protes Jacob lagi karena Liam dan El jelas secara terang-terangan mengabaikannya.

Kali ini Liam juga menatap Jacob dengan serius. “Aku tahu ini masalah serius, Jake. Aku juga mau membunuhnya saat ini juga. Tapi ingat, kita tidak bergerak sendiri. Kita bekerja sama dengan polisi, jadi kali ini kita benar-benar harus melakukannya sesuai peraturan.”

Fuck all that rules! Liam, kita pernah berurusan dengan polisi sebelumnya. Dan itu tidak berakhir baik, jadi kalau kau tidak mau kehilangan Rosela juga, sebaiknya belajar dari pengalaman!”

“Jake, kita sudah punya rencana.”

Jacob berdiri lalu menendang kursi yang ia duduki dengan kencangnya. Hingga kursi itu menghantam tembok dan patah jadi dua. Lalu, ia meninggalkan ruangan El dengan emosi yang terpancar jelas di wajahnya.

Liam hanya menatap kepergian Jacob dengan tatapan sendu. Pria itu tahu, jika Jacob pasti akan menolak mentah-mentah ide untuk bekerja sama dengan polisi. Karena sahabatnya itu, pernah punya pengalaman buruk yang melibatkan polisi. Hingga dunianya hancur lebur beberapa tahun lalu.

***

Liam sudah sampai di rumah sakit tiga puluh menit lalu. Tapi pria itu tidak langsung menghampiri Rosela yang tengah mengobrol akrab dengan Benjamin di sisi taman yang lain.

Pemandangan itu masih membuatnya  cemburu, apalagi saat Benjamin memeluk Rosela erat dan menyandarkan kepalanya di bahu gadis itu.

Namun, Liam tahu jika Benjamin begitu berarti untuk Rosela. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk menahan semua emosi yang bergejolak di hatinya mati-matian.

“Cemburu bos?” tanya Camille seraya tersenyum mengejek.

Liam tersenyum kecil dan matanya masih menatap lurus ke arah Rosela. “Ya, jujur saja itu bukan pemandangan yang menyenangkan.”

“Benar-benar aneh bisa melihat Tuan Han cemburu. Aku pikir Tuan juga sejenis dengan yang lainnya. Tidak punya emosi.”

“Bagaimana pun aku juga manusia biasa, Cam. Justru aku rasa akan sangat mengerikan saat kamu sama sekali tidak bisa merasakan emosi apa-apa lagi.”

“Seperti white rose.”

“Jadi, kamu sudah ingat dengan jelas sekarang?”

The Bodyguard (#1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang