03

620 69 0
                                    

“Kadang aku bertanya-tanya El itu adikku atau bukan, sih? Bagaimana dia bisa memberimu pekerjaan sebagai bodyguard Rosela Atmaja tapi malah mengirimku ke gurun pasir di Mesir! Ini benar-benar tidak adil!” keluh Jacob keseribu kalinya. Karena sejak semalam pria itu terus mengoceh tentang hal yang sama. Sampai membuat Liam lelah mendengarnya.

“Kau sendiri yang meminta pekerjaan lapangan, Jake. Jadi, lakukan saja tugasmu dengan baik. Dan kalau kamu mau, kita bisa melakukan apa yang pernah kita lakukan di Irak. Mau bertukar tempat? Karena jujur saja, saat ini lebih baik aku terbang ke Mesir.”

Liam sungguh tidak suka perkejaannya saat ini. Ada satu hal tentang seorang Rosela Atmaja yang terus mengganggunya. Padahal mereka belum pernah bertemu sama sekali. Liam hanya baru melihat gadis itu lewat foto. Namun, ia bisa membayangkan jika sebaiknya mereka tidak pernah berhubungan. Kepalanya memberikan tanda bahaya yang seharusnya tidak boleh Liam abaikan.

“Wah kau gila, Man? Kepalamu tidak terbentur sesuatu, kan? Karena cuma orang yang tidak punya otak yang bisa berpikiran untuk bertukar misi di keadaan begini! Kau tahu tidak? Posisi kita saat ini bagaikan di surga dan neraka? Dan tentu saja kau yang ada di surga karena harus menjadi bodyguard seorang dewi seperti seorang Rosela Atmaja! She's fucking hot, Man!”

Lalu, kalau ucapan Jacob benar, jika ia yang ada di surga, mengapa kini ia merasa seolah terbakar? Sudah pasti inilah yang namanya neraka.

“Persetanlah dengan peraturan El yang melarang kita terlibat asmara apapun dengan klien. Kalau kita memikirkan tentang mencumbuinya hanya di kepala, El tidak akan tahu, kan?” ujar Jacob seraya tersenyum jahil dan mesum.

“Berhenti bicara kalau kau hanya akan membicarakan hal menjijikan begitu!” teriak Liam seraya memijit kepalanya yang pening. Entah apa yang membuat kepala Liam semakin berdenyut, kenyataan jika ia tidak bisa tidur semalam atau kata ‘mencumbui’ yang baru saja keluar dari mulut Jacob.

“Okay, sorry karena aku berakting seperti pria normal. Tapi coba jujur padaku, memangnya kau benar-benar tak pernah merasa tertarik sama sekali saat melihat wanita secantik Rose? Dia benar-benar wanita yang sangat menarik, Man!”

“Sebaiknya tutup mulutmu sebelum aku yang menutupnya paksa! Dan Jake, sebaiknya kau fokus pada misimu kali ini. Kalau informasi tentang senjata biologi itu benar, ini bisa jadi hal yang fatal kalau jatuh ke tangan yang salah.”

Kali ini ekspresi Jacob berubah jadi serius. “Aku tahu. Dan El si nenek sihir itu pasti punya alasan kenapa ia mengirimku ke Mesir, padahal untuk tugas seperti ini, kau yang lebih cocok.”

Liam mengangguk setuju. “Apapun itu hati-hati.”

“Kau juga hati-hati. Aku tahu kau membenci ini, tapi kelemahan kita—para pria—memang benar-benar; harta, takhta, wanita. Dan Rosela Atmaja itu—”

“Aku tahu.”

Lalu, Liam turun dari mobil dan berjalan dengan gagah ke sebuah hotel di mana pria itu akan bertemu dengan Thomas Atmaja. Bosnya untuk tugas kali ini.

Jacob pikir adiknya selalu membuat perhitungan yang benar, tapi sepertinya untuk pertama kalinya; El membuat keputusan yang sangat salah.

***

Rose baik-baik saja saat tadi lift naik sampai lantai lima. Namun, begitu semua orang turun dan menyisakan Rose sendiri di dalam lift suasana kotak besi itu jadi sangat menakutkan.

Rose yang tadinya berdiri dengan angkuh dan percaya diri, kini gemetar hebat sambil mencengkeram sisi lift keras-keras.

Jantungnya berdetak sangat keras hingga dadanya terasa sakit.

Mimpi buruk itu kembali!

Mimpi buruk tentang kegelapan tiada akhir hingga ia berpikir mungkin matanya buta. Aroma besi tua dan karat yang membuat mual. Suara tulang remuk dan teriakkan putus asa yang mendamba kematian. Amis darah yang bercampur dengan aroma kopi yang sangat kuat.

Hingga akhirnya, kegelapan itu akhirnya hilang. Rose akhirnya bisa melihat cahaya, tapi hal pertama yang dilihatnya adalah kedua tangannya yang penuh darah.

Membuat Rose berteriak tanpa suara.

Lalu, kegelapan benar-benar merenggutnya. Hingga tubuhnya jatuh ke lantai lift yang dingin.

***

Masih dengan piyama teddy bear-nya Rose menerobos ruang kerja ayahnya. Membuat Thomas Atmaja yang sedang mengadakan rapat menghentikan pembicarannya. Hanya dengan satu kode mata, semua orang yang ada di ruangan itu langsung mengerti. Membuat mereka segera meninggalkan ruangan tanpa diperintah.

“Kalau Papa sedang rapat, Papa bisa menyuruh aku menunggu. Tidak perlu menghentikan rapat di pertengahan. Mereka sudah meluangkan waktunya untuk Papa, dan sekarang aku pasti sedang mereka maki habis-habisan!”

Thomas tertawa kecil karena ucapan Rosela. Lalu, ia mendekat pada putri kesayangannya itu dan mengecup rambutnya sayang.

“Rapat Papa memang sudah selesai, jadi tenang saja kamu tidak akan dimaki diam-diam. Bagaimana keadaanmu, Sayang? Kamu butuh sesuatu?”

Mengetahui putri kesayangannya pingsan di lift benar-benar membuat Thomas khawatir luar biasa. Sampai ia menjemput dokter keluarga Atmaja yang tengah seminar di Singapura dengan helikopter pribadinya.

“Aku baik-baik saja. Dan ya, aku butuh sesuatu. Aku butuh Papa membatalkan rencana Papa untuk menyewa bodyguard untukku! Yang benar saja, Pa! Memangnya Camile tidak cukup jadi mata-mata di apartemen? Papa benar-benar ingin mengawasiku 24 jam? Aku juga butuh privasi!”

“Kamu tahu Papa punya alasan kuat untuk memberimu bodyguard, Rosela!”

“Pa, dia itu cuma fans pengecut yang beraninya sebagai anonim! White Rose nggak bakal ngapa-ngapain, aku! Toh, selama ini dia juga cuma bisa mengancam lewat surat! Kalau dia memang mau membunuhku, pasti sudah dia lakukan jauh-jauh hari. Dia hanya ingin menakut-nakutiku, dan aku sama sekali tidak takut!”

Tatapan Rose kini fokus pada orang yang ada di belakang papanya. Seseorang yang sejak awal tidak bisa ia abaikan, membuatnya tidak fokus dan membuat Rose terus meliriknya walau saat ini ia tengah berdebat sengit dengan sang Papa.

Ada sesuatu di mata pria itu yang membuatnya tak bisa mengalihkan pandangan. Begitu menghipnotis.

“Aku tahu kamu bosan dengan drama keluarga ini, jadi kamu bisa keluar sekarang!” usir Rose dengan angkuh, tapi saat ini perut gadis itu merasa melilit hanya karena satu ruangan dengan Liam. Reaksi yang tidak dimengerti oleh dirinya sendiri.

Thomas memutar tubuhnya, dan mata tua itu melihat keberadaan Liam. Dengan isyarat mata Thomas menyuruh Liam mendekat, dengan langkah pasti Liam pun menggerakan kakinya. Hingga kini jarak di antara Liam dan Rose hanya tersisa beberapa langkah.

“Maaf, Sayang, Papa tidak bisa menuruti keinginanmu kali ini! Papa tidak mau melakukan kesalahan yang sama dua kali! Perkenalkan ini Liam, dia yang akan menjadi bodyguard-mu nanti.”

Entah ke mana semua protesan dan suara Rose pergi. Berhadapan dengan Liam membuat kepalanya berhenti berfungsi. Mata hitam pekat itu berhasil membawa jiwanya pergi.

Liam hanya diam tanpa ekspresi. Tatapan mata itu juga masih sama datarnya. Namun, hanya Tuhan yang tahu, kalau saat ini ia tengah meredam hasratnya habis-habisan. Saat pertama kali Rose masuk ke ruangan itu, dan aromanya menguar di seluruh ruang.

Liam sudah hilang akal.

Sial, setelah ini aku benar-benar bertemu dengan El.

The Bodyguard (#1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang