“Apa yang kau lakukan brengsek? Aku tidak bisa bernapas!” teriak sang wartawan sekuat tenaga, tapi yang keluar dari mulutnya hanya kata-kata tak jelas karena saat ini ia terhimpit di dinding dengan leher dicekik. Tubuhnya yang tidak begitu tinggi terangkat sekitar 10 cm dari lantai, sehingga kakinya terayun-ayun berusaha mencari pijakkan.
Wajahnya sudah memerah karena kekurangan oksigen. Namun, Liam sama sekali belum mau memberi ampun. Mata merah sang wartawan menatap mata Liam dengan putus asa dan memohon yang sangat kentara, tapi Liam hanya menatap balik mata itu dengan tatapan datar dan tak peduli.
Saat sang wartawan mulai benar-benar kehabisan napas, barulah Liam melepaskan cekikannya. Hingga kini sang wartawan meringkuk di lantai seraya memegangi lehernya dan batuk-batuk hebat. Namun, suara musik yang diputar DJ dan menggema di seluruh ruang, menyamarkan suara batuk sang wartawan. Sehingga tidak ada yang peduli kalau sang wartawan tadi hampir kehilangan nyawanya.
Liam jongkok di depan sang wartawan. Lalu menjambak rambut keriting sang wartawan hingga mata merahnya kini menatap mata Liam yang begitu membunuh.
“Kau tahu siapa yang dari tadi kau potret bajingan? Jangan dekati dia lagi seincipun, atau lain kali aku akan benar-benar mematahkan tulang lehermu!”
Sang wartawan mengangguk cepat-cepat seraya meringis karena kepalanya terasa sakit dan ia masih susah bernapas.
“Maafkan aku! A-a-aku berjanji tidak akan menganggu Rosela Atmaja lagi! Tolong ampuni aku!” Kali ini sang wartawan mulai menangis dan kencing di celana.
Liam tak merespons apapun. Ia menjambak kepala sang wartawan hingga sang wartawan mendongak dengan mulut terbuka lebar. Lalu ia memasukkan narkoba—milik sang wartawan yang tadinya untuk menjebak Rosela—ke mulut sang wartawan dengan paksa. Hingga kini sang wartawan semakin batuk-batuk hebat karena bubuk narkoba itu memenuhi lubang tenggorokan dan lubang hidungnya.
Liam melepaskan tangannya dari kepala sang wartawan, setelah itu ia melangkah ke tempat Rosela yang mabuk berat. Meninggalkan sang wartawan yang kondisinya sangat mengenaskan.
Di antara hidup dan mati.
***
Camile langsung meninggalkan meja bar begitu melihat Liam mendekat. Wanita berumur 30 tahun itu paham kalau sang bos sudah membereskan urusannya. Dan sekarang saatnya ia sadar diri untuk undur diri.
Liam kini duduk di bangku yang tadi di duduki Camile. Lalu ia meraih tangan sang nona yang hendak mengambil coklat lagi. Dengan gerakan lembut Liam membersihkan coklat yang ada di sekitar bibir sang nona. Membuat Rose yang setengah sadar langsung mendongakkan wajahnya.
Mata mereka kembali bertemu. Dan sengatan listrik itu kembali menyala-nyala di seluruh tubuh keduanya.
Rose tertawa keras. Lalu meraih dagu Liam dengan telunjuknya yang dipoles dengan pewarna merah darah.
“Hmm ... Ternyata seru juga punya anjing penjaga yang bisa aku panggil kapan saja! Hanya dengan satu telepon! Dan kamu benar-benar di sini!”
Liam meraih telunjuk Rose yang bermain-main di dagunya karena membuat selangkangannya berdenyut. Lalu ia berkata dengan suara seraknya. “Sebaiknya kita pulang sekarang. Nona sudah sangat mabuk.”
“Tidak mau! Aku masih mau bermain-main dengan anjingku ini!”
Lalu, Rose mengalungkan lehernya di leher Liam. Mendekatkan wajahnya hingga hingga napasnya dan napas sang bodyguard beradu satu sama lain. Begitu panas. Begitu menggairahkan. Begitu sensual.
Rose berbicara di depan bibir Liam. “Aku tahu kamu menginginkanku. Aku juga menginginkanmu. Bagaimana kalau malam ini kita berdua tidak usah pulang? Aku yakin Benedict pasti punya satu kamar kosong di lantai atas.”
Dan sungguh, mungkin malam ini, pertahanan Liam yang sudah ia bangun bertahun-tahun. Akan benar-benar runtuh tanpa sisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bodyguard (#1)
RomanceRosela Atmaja adalah selebriti yang sedang naik daun akhir-akhir ini. Semua penggemarnya memujanya. Tak peduli setiap minggu ada saja skandal yang membuntuti sang aktris ke mana-mana. Yang membencinya juga sangat banyak. Hingga apapun yang ia lakuk...