02

486 56 0
                                    

Rose terbangun dengan kepala yang amat sakit luar biasa. Entah berapa banyak wine yang semalam ia teguk, yang jelas bergelas-gelas anggur itu berhasil membuat hangover hingga kini membuat kepalanya rasanya mau percah. Seperti ditusuki ribuan jarum tak kasat secara bersamaan.

Interior kamar yang sangat familiar membuat Rose menarik napas lega. Tandanya ia bangun di kamarnya sendiri. Bukan telanjang di kamar teman make out-nya tadi malam yang entah namanya siapa. Dave? Damien? Darren? Ia lupa. Tapi itu tidak penting, toh mereka tidak akan bertemu lagi.

Dan bisa repot kalau malah mereka bangun di tempat yang sama lalu ketahuan wartawan saat di parkiran hotel, bisa-bisa skandal baru meledak, dan Papanya yang super cerewet itu pasti lagi-lagi akan mengomel.

Rose tidak percaya cinta apalagi komitmen. Mungkin hatinya sudah lama mati, tapi siapa peduli? Toh, selamanya ia akan hidup seperti ini. Dan mungkin hidupnya juga tidak lama lagi. Karena akhir-akhir ini, ia sungguh sangat bernapsu untuk menodongkan pistol ke kepalanya sendiri. Mungkin hal itu bisa membuat iblis-iblis di kepalanya tidak lagi berisik.

Rose memejamkan matanya sekali lagi karena sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi. Lalu, setelah sakit itu mereda ia meminum segelas air putih yang selalu tersedia di nakas hingga tandas. Setelah itu ia berjalan ke kamar mandi untuk mengguyur kepalanya dengan air dingin dan meminum sebutir aspirin yang selalu tersedia di botol yang ia sembunyikan di lemari kecil di belakang berbagai produk skin care-nya yang super mahal. Botol itu berjejeran dengan obat tidur dan obat penenang yang kadang ia minum berlebihan saat ia kalut atau lelah luar biasa.

***

Setelah mandi perasaan Rose jadi lebih baik. Tubuhnya juga sudah lebih segar, sakit kepalanya juga sudah mereda. Sepertinya efek aspirin yang ia minum mulai berkerja.

Aroma tubuhnya juga harum segar buah-buahan. Tidak ada lagi aroma keringat, seks, ataupun alkohol yang jujur saja membuat Rose mual saat menghidu aroma tubuhnya sendiri.

Rose berjalan ke arah dapur karena aroma lezat yang berasal dari ruangan itu membuat perutnya keroncongan. Ia lapar luar biasa. Bahkan, ia lupa kapan terakhir ia makan. Mungkin kemarin saat lunch dengan Jeremi. Setelah itu Rose hanya mengisi perutnya dengan bergelas-gelas alkohol sampai kembung.

Morning, Camile,” sapa Rose ramah pada Camile yang merupakan pelayan yang dikirim Papa untuk membersihkan apartemen dan memasak setiap hari. Camile adalah orang yang kaku, ia jarang bicara dan tersenyum, tapi selalu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.

Hal itulah yang membuat Rose tetap mempertahankan wanita berumur 30 tahunan itu untuk bekerja setiap hari di apartemennya, walau ia tahu kalau Camile juga merupakan mata-mata sang Papa. Yang selalu melaporkan apapun yang terjadi di apartemen Rose 24/7. Hingga ia tidak punya privasi sama sekali.

Rose memakan sandwich tuna buatan Camile dengan lahap, lalu ia juga menghabiskan susu yang sudah disiapkan. Dengan anggun Rose mengelap bibirnya dengan serbet. Lalu ia berbicara, “Cam, weekend ini kamu tidak usah bekerja. Papa pasti nemaksaku untuk menginap di rumah. Jadi, kembali hari Senin saja.”

Camile menganggukkan kepalanya. “Baik, Nona. Ah, ya, hari ini ada beberapa hadiah dari fans yang dikirim Kenzo. Silahkan nanti Nona lihat sendiri.”

Mendengar perkataan Camile senyum Rose langsung melebar. Membuka hadiah dari fans adalah salah satu kegiatan favoritnya. Salah satu hal yang membuat ia bertahan di dunia hiburan yang gemerlap tapi juga sangat gelap itu.

***

“Serius, tinju ilegal lagi, Liam?” tanya El seraya memutar bola matanya. Lalu gadis itu meraba-raba meja dengan hati-hati hingga ia akhirnya menemukan kulkas. Ia meraba bagian dalam kulkas kulkas dengan tangan kanannya, lalu setelah menghitung sampai tiga, ia mengambil sebotol jus jeruk dan meminumnya sekali teguk.

Liam menaikan sudut bibirnya. “Tenang saja aku menang lagi, kok. Dan aku ke ring karena butuh hiburan. Tidak ada yang serius, kamu tidak usah khawatir.”

“Tentu saja aku khawatir. Dan kalau kamu butuh hiburan, pergi kencan sana! Buat apa malah adu jotos sampai wajah tampanmu babak belur begitu!”

“El, kamu tidak pernah melihat wajah Liam. Bagaimana tahu kalau dia tampan?”

“Gampang. Pria yang suaranya tampan pasti wajahnya juga tampan.”

Dan tentu saja perkataan El langsung membuat Jacob memutar bola mata malas. Sedangkan Liam hanya menanggapinya dengan senyuman.

“Suaraku juga tampan. Tapi kamu selalu bilang aku jelek!”

“Suara cempreng begitu kamu bilang bagus? Bahkan, suara tikus terjepit lebih enak didengar!”

“Wah, hidupku memang sangat sial karena punya saudara sepertimu!”

“Lalu hidupku pasti dikutuk karena punya saudara sepertimu! Dan berhentilah keluyuran lalu membawa pulang para jalang itu! Aku menyuruhmu ke sini untuk membantuku bekerja, bukan malah main sana-sini!”

“Maka beri aku pekerjaan!”

“Membuat laporan keuangan juga pekerjaan!”

“Itu tugasmu, Sister! Lakukan saja sendiri! Beri aku pekerjaan lapangan!”

“Kamu tahu apa yang tidak bisa dilakukan orang buta selain melihat, my—stupid—Brother? Membaca dan mengetik di komputer! Jadi, mulailah bekerja kalau bulan ini kamu masih mau digaji! Tidak usah banyak mengeluh!”

“Kamu mengerikan!”

Lalu Jacob membuka bajunya yang penuh keringat dan pergi ke kamar mandi. Sedangkan Liam masih di tempatnya sambil sesekali makan pancake yang tersedia di meja.

Pria itu sudah begitu hafal dengan sifat kedua saudara itu yang selalu perang bratayudha setiap bertemu. Padahal sebenarnya mereka saling mencintai dan mengasihi satu sama lain.

“Kadang aku bertanya-tanya kapan si bodoh itu tumbuh dewasa!”

“Membuat laporan keuangan itu menyiksanya. Berilah dia pekerjaan lapangan.”

El menghela napas panjang lalu mengembuskannya. “Akan aku pikirkan. Ngomong-ngomong soal pekerjaan lapangan, aku punya satu untukmu.”

Begitu mendengar perkataan El, Liam langsung duduk dengan tegap dan menatap gadis itu serius.

Tangan lentik El meraba-raba tumpukan dokumen di atas meja. Lalu ia mengambil map yang ada di urutan ketiga dan memberikan map tersebut pada Liam.

Pria itu langsung menerima map yang diberikan El dan membacanya dengan serius. Kening pria itu langsung berkerut dalam saat melihat siapa kliennya kali ini.

“Kamu serius? Ini pekerjaanku kali ini?”

“Yups, pekerjaan yang mudah bukan? No pressure, minim risiko, dan bayarannya besar. Bersantailah sedikit kali ini, aku tahu kamu kuat, tapi tubuhmu juga butuh istirahat.”

Namun, Liam tidak mendengar wejangan El karena sebuah nama yang ada di atas kertas, membuat keningnya semakin berkerut dan sakit kepalanya kembali.

Entah kenapa, tugasnya kali ini, sepertinya akan lebih sulit daripada mengejar pembunuh bayaran yang akan membunuh presiden.

Senyum manis Rosela Atmaja tidak membuat Liam kagum, tapi senyuman itu membuatnya pening luar biasa.

The Bodyguard (#1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang