Chapter 8

19.5K 1.4K 386
                                    

P E M B U K A

Kasih emot dulu sebelum baca chapter ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kasih emot dulu sebelum baca chapter ini

***

"Kamu ini kapan pinternya, sih, Miura?" heran Maya selepas kepergian Dikta yang pulang membawa kekecewaan usai ditolak kesekian kali. Tangannya yang gagal menoyor kepala karena anak sulungnya sigap mengelak, pun ditarik kembali. Kemudian dia duduk di kursi kayu setelah menaruh barang pemberian seseorang yang diharapkan bisa menjadi menantu.

Dalam diam, Maya menatap tajam ke arah Miura yang begitu keras kepala—tidak pernah mau mendengar perkataannya. Rahang wanita itu tampak mengeras dengan bibir terkatup rapat, sewaktu mengingat bagaimana bodohnya Miura yang menolak pria kaya raya seperti Dikta Mahendra. Berkali-kali dinasihati pun, wataknya yang sekeras batu, tidak mempan. Tetap pada pendirian bodohnya yang betah menjadi orang melarat.

"Dipikirin lagi yang bener. Nggak ada ruginya kalau kamu nikah sama Dikta, justru kamu untung banyak. Sama Dikta, tuh, masa depanmu udah pasti terjamin. Kamu nggak bakal hidup susah sampai tujuh turunan. Nggak perlu kerja lagi—udah ada Dikta yang bakal ngasih nafkah berlimpah. Emangnya kamu nggak pengin hidup yang lebih baik? Emangnya kamu nggak pengin punya masa depan cerah buat anak-anakmu kelak? Ayolah, Miura. Yang pinter dikit, yang realistis. Masa gini aja kamu nggak ngerti-ngerti."

"Cih, belibet banget ngomongnya," olok Miura dengan memperlihatkan raut yang menunjukkan ketidaksukaan pada ibunya. Dia memang tidak pernah menyembunyikan perasaan tidak sukanya. Toh, selama ini mereka memang saling menatap penuh kebencian. "Tinggal ngomong, biar Mama gampang morotin Dikta aja susah. Kayak aku nggak tau aja watak jelek Mama gimana. Udah ketebak banget apa yang bakal Mama lakuin kalau aku nerima Dikta. Nggak usah sok bijak pake bilang demi kebaikan aku. Mama nggak pernah sebaik dan sepeduli itu sama aku."

"Miura, Mama ini emang jahat. Tapi apa orang jahat bakal selalu jadi penjahat?"

"Kalau orang jahatnya itu Mama, iya—bakalan selalu jahat ke aku. Itu fakta dan Mama nggak perlu cari pembelaan apapun," pungkas Miura lalu mengatur napas di tengah ruang kontrakan yang begitu menyesakkan. Bukan sepenuhnya karena ukuran ruangan yang terlalu sempit, tapi suasana dalam kontrakan inilah yang menjadi pemicu utama sesak di dada. Selain menyesakkan dada, di sini pun tak pernah lagi Miura temukan ketenangan. Hanya ada tekanan, perasaan tak nyaman, dan hal-hal yang membuat kesabarannya terus terkuras. 

"Susah ngomong sama kamu. Mama kalau jadi kamu, nggak pake mikir. Bakalan langsung nerima Dikta dan minta dinikahin hari ini juga. Terus Mama bakal memuliakan dan sejahterain orangtua."

"Hahaha."
Miura tertawa.
Jenis tawa mengejek.
"Yang pemikirannya semulia Mama malah dapetnya laki-laki nggak berguna kayak papa. Tuhan emang adil, ya? Seandainya Mama dapetin orang kayak Dikta, kasihan orangnya."

Setelah mengatakan itu, Miura bangkit. Raut mukanya memperlihatkan bagaimana semakin tidak nyaman dirinya di tempat yang seharusnya bisa memberikan kenyamanan. Paras cantiknya yang masih sedikit pucat, penuh dengan gurat kecewa dan kekesalan begitu mendalam. Lalu tanpa mengatakan apapun, dia pun melenggang pergi ke kamar meninggalkan ibunya yang terus berteriak, mencoba menghentikannya karena belum selesai bicara.

Double TroubleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang