Chapter 3

27.6K 1.6K 479
                                    

P E M B U K A

Kiwwwkiww, berondong satu ini bakalan ketemu nggak ya sama Kak Miura? 🐥

Kasih emot dulu buat chapter ini

***


Jam makan siang menjadi puncak keramaian resto dengan olahan bebek sebagai menu andalan mereka. Resto sudah mulai didatangi pengunjung sejak pukul sebelas siang. Tepat di jam dua belas, seluruh meja telah terisi dan antrian untuk pesanan via online pun cukup panjang. Suara percakapan antar pengunjung, serta denting alat makan menciptakan hiruk pikuk yang begitu khas.

Para pramusaji berseragam serupa—kemeja putih bersih dilengkapi rompi berwarna merah marun dengan bordir logo resto di sisi kanan, setelan bawah berwarna hitam pekat, serta celemek kecil yang menggantung di pinggang—bergerak lincah di antara meja-meja bersama senyum ramah kepada para pelanggan. Termasuk Miura Nara yang belum mengambil jeda istirahat setelah menyelesaikan pekerjaan paruh waktu di tempat pertama. Dia bergerak lincah dengan tetap memperhatikan langkah supaya tidak terjadi hal buruk yang berakibat gajinya dipangkas, membawa nampan berisi makanan dan minuman. Mengantarkannya dari meja satu ke meja lainnya.

Meski letihnya bukan main—terpeta jelas di wajah—dia tetap berusaha profesional. Senyum ramah selalu diperlihatkan pada pelanggan resto setiap kali Miura melayani mereka. Senyum itu ada sejak piring pertama diturunkan dan disusun di meja bersama piring-piring yang lain. Sebelum pergi, dengan tutur kata yang begitu lembut, dia selalu bertanya untuk memastikan apakah pesanan pelanggannya sudah lengkap dan sesuai. Tidak lupa menawarkan jasa, barang kali ada bantuan tambahan yang mereka butuhkan.

Jika pesanan lengkap dan sesuai, serta mereka tidak membutuhkannya lagi, barulah Miura pamit undur diri setelah mengatakan template kalimat, "Selamat menikmati, semoga hidangannya memuaskan. Jika ada sesuatu, jangan ragu untuk memanggil saya atau pun rekan saya yang lain. Kami dengan senang hati siap melayani." Lantas bersiap mengantarkan pesanan yang lain.

"Miura."

Di tengah hiruk pikuk alat-alat dapur dan suara intruksi dari koki, terselip panggilan untuk satu nama. Si pemilik nama—gadis dengan rambut hitam panjang dikuncir kuda—yang sedang menyusun makanan dan minuman di atas nampan untuk diantarkan ke pelanggan berikutnya, tak memenuhi panggilan itu. Bukan tidak mendengar namanya dipanggil, Miura memang sengaja mengabaikan cucu pertama pemilik resto dengan 23 cabang itu.

"Miura."
Lagi.
Pria yang melepaskan jas begitu tiba di dapur dan menyisakan turtle neck berwarna hitam yang memetakan jelas bagaimana lekuk tubuhnya, memanggil sekali lagi. Kali ini dengan nada setingkat lebih tinggi dari panggilan pertama, hingga menarik seluruh atensi orang-orang di dapur sampai terjadi keheningan sesaat dari mereka yang kompak berhenti bergerak. Baru setelah si cucu pertama pemilik resto berdehem keras, mereka kembali ke pekerjaan masing-masing.

Double TroubleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang