Chapter 23

14.2K 1.5K 722
                                    

P E M B U K A

Kasih vote plus emot dulu buat chapter ini

***

Keluar dari salah satu bilik, tungkai Miura terayun mendekati wastafel, dan mulai membasuh wajah tuk dapatkan kesegaran. Ketika sedang menunggu air keran mengalir memenuhi kedua telapak tangannya—yang disatukan dengan posisi menengadah, sorak-sorai penonton dari lapangan futsal menggema sampai toilet. Spontan gadis itu membuang air di telapak tangannya, lantas salah satu tangan bergerak cepat untuk mematikan keran. Dia pun menegakkan punggung, menatap pantulan wajahnya di cermin yang tampak begitu serius, ketika mencoba menangkap lebih jelas suara riuh penonton.

Yakin jika nama si pacar magang lah yang orang-orang teriakkan dengan semangat penuh, diperkuat suara komentator beberapa kali menyebut si nomor punggung 26 sebagai pencetak gol, Miura tersenyum lebar dengan mata bersinar cerah. Rasa bangga pun mengalir deras memenuhi hatinya. Dan dia pun melanjutkan kegiatan membasuh wajahnya tanpa berhenti tersenyum. Sebab terus saja membayangkan bagaimana tampang pongah si pacar magang setelah berhasil mencetak gol.

Jika dirinya masih duduk di tribune penonton, Miura yakin kalau berondong banyak gaya itu pasti menunjukkan selebrasi berlebihan di hadapannya. Wajahnya yang tengil pasti berkali-kali lipat lebih tengil. Bukan itu saja, bagaimana ekspresinya nanti setibanya di kandang wufwuf, lalu merengek meminta hadiah atas kemenangannya, sudah tergambar sangat jelas dalam benak. Ahh, rasa-rasanya Miura sudah tidak sabar menghadapi sisi kekanak-kanakan pria ¼ matang itu. Sepertinya seru jika Miura menjailinya sampai si pacar magang tantrum parah. Terlebih jika setelah pertandingan ini, dia menerima tawaran kerjasama dengan Melody, dan membuat si pacar magang cemburu lewat pria 27 tahun yang akan Melody kenalkan.

Setelah meneliti penampilannya— pasca memberi riasan tipis pada wajah yang kini terlihat jauh lebih segar, Miura pun melangkah keluar. Dalam perjalanannya menuju lapangan indoor yang riuh oleh sorak-sorai penonton, entah mendapat dorongan dari mana, gadis itu mengeluarkan ponsel.

Barisan pesan singkat dari Anindita dan banyaknya panggilan tak terjawab, seketika membuat tungkainya berhenti mengambil langkah.

Di situasi ini, Miura berperang melawan ego yang memintanya untuk tetap pada skenario lama. Acuh tak acuh perihal apapun yang terjadi pada mereka—sebab bukan urusannya lagi. Bersikap seolah-olah segala prasangka buruk yang mulai memenuhi kepala, sama sekali tak mengusik ketenangan hatinya. Namun, semakin dia mengupayakannya, semakin keras teriakan hati kecilnya. Miura paham betul-betul. Seburuk apapun perlakuan mereka padanya, tidak mengubah fakta jika mereka tetaplah keluarganya. Pemilik sebagian darah yang mengalir dalam tubuhnya.

Maka tanpa buang-buang waktu lagi, gadis yang gagal untuk tidak menaruh kekhawatiran pada anggota keluarganya, pun menelepon balik sang adik. Ketika panggilan itu tak kunjung dijawab, kekhawatirannya semakin membuncah, dan dia pun menggigit bibir bawah dikala cemas tak henti-hentinya menerpa.

Double TroubleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang