11

5.9K 444 5
                                    

"Gimana tadi kerja kelompoknya? Udah selesai?" tanya Rania pada anaknya yang sedang rebahan di sofa.

"Dikit lagi, aku bisa selesaiin sendiri." jawab Arga menoleh ke arah Mama-nya. "Tahu enggak? Tadi tuh nyebelin banget di rumah Danish."

"Nyebelin kenapa?" tanya Rania.

"Itu tuh, Kakek-nya Danish. Jadi stres aku gara-gara tadi di pelototi terus tadi pas di sana, padahal enggak ngapa-ngapain. Tapi selalu salah. " ujar Arga bangun dari tidurannya.

"Kamu nakal kali di sana, atau kamu enggak sopan."

"Enggak sopan gimana? Orang aku di sana datang langsung ngerjain tugas. Enggak sempat main, aku juga nyapa keluarga Danish pake senyum aku yang paling ramah dan manis, emang dasar Kakek-nya Danish aja yang nyebelin." ucap Arga sambil mengerucutkan bibirnya sempurna, menurunkan ia sudah cukup sopan di rumah Danish.

"Untung enggak punya Kakek kaya dia. Kalau punya Kakek kaya gitu, setiap hari stres aku." sambungnya lagi.

"Enggak boleh gitu, mungkin kamu ngelakuin sedikit kesalahan. Makanya Kakek-nya Danish gitu sama kamu." sahut Erlan tersenyum lembut pada anaknya yang sejak tadi masih kesal karena Kakek-nya Danish yang katanya mengusirnya dari rumahnya.

"Pokoknya aku enggak mau lagi pergi ke sana, apa lagi tuh si Ryan. Cowok lebek, kebanyakan drama. Kayanya dia perlu adu skill sama aku." ucap Arga yang masih kesal juga dengan tingkah sepupunya Danish itu.

"Ryan adiknya Danish?" tanya Erlan yang penasaran dengan anak-anak Kakak dan adiknya, sepertinya mereka memiliki anak lebih dari satu.

"Bukan adiknya Danish tapi sepupunya. Anak Om-nya Danish."

"Pa, Papa sayang kan sama aku?" ucap Arga mendongakkan kepalanya menatap Erlan, dia tersenyum manis lalu menunjukkan handphonenya pada Papa-nya. "Yang ini bagus kan? Mau dong satu."

"Enggak, kelihatan biasa aja, sama kaya yang di rumah." ucap Erlan melihat gambar miniatur motor dan mobil yang anaknya tunjukkan.

"Gitu ya, jadi tambah pusing aku. Di sana tadi udah serba salah sama Kakek-nya Danish. Di rumah enggak ada yang pengertian. Kasih hadiah gitu biar senang, malah di tambah stres karena kepikiran belum punya miniatur yang itu." ucapnya lalu meletakkan handphonenya di atas meja.

"Udahlah, udah gede juga. Lagian udah enggak muat tuh lemari. Penuh sama mainan kamu yang sama semua." sahut Rania, sudah banyak sekali koleksi miniatur mobil dan motor milik anaknya. Tapi anaknya itu masih saja ingin membeli, padahal menurutnya sama saja yang di rumah. Tapi Arga selalu bilang, belum punya yang ini, yang ini adalah keluaran terbaru.

"Mending sana tidur, udah malam." ujarnya lagi.

"Mana bisa tidur orang lain kepikiran tuh enggak bisa tidur Ma, yang ada mata ngantuk otak enggak mau istirahat."

"Nanti tunggu Papa gajian, Papa beliin." ujar Erlan mengusap rambut anaknya. "Mau yang mana aja?"

"Yang tadi aku kasih lihat Papa itu semuanya, besok pagi udah ada di rumah kan?"

"Papa bilang nanti tunggu gajian." jelas Rania.

"Kan bisa pake uang gajian bulan lalu, yang penting kan pake duit gajian."

"Iya besok udah ada di rumah." pungkas Erlan, karena percuma juga melarang anaknya untuk tidak membeli mainan lagi, karena anak itu akan berusaha untuk mendapatkannya. Dan dirinya juga tidak mungkin tidak membelikannya, apa lagi dia anak satu-satunya. Tentu semuanya untuknya.

"Akhirnya bisa tidur nyenyak malam ini, ayo tidur." ajak Arga bangkit dari duduknya.

"Sana beres-beres dulu, nanti kalau udah selesai panggil Papa. Itu bantal kamu masih ada di kamar Papa, sekalian bawa ke kamar kamu." ujar Erlan, semalam Arga tidur di kamarnya, dan malam ini Arga bilang ingin tidur di kamarnya sendiri.

ERLAN PANDU WINATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang