"Kuil Kegelapan sudah bergerak menuju Utara?"
Felix mengerutkan keningnya. Kuil kegelapan adalah salah satu entitas yang harus segera ia musnahkan. Kekaisaran telah mengerahkan banyak cara namun sangat sulit untuk mendeteksi keberadaan mereka.
Sekalipun mereka berhasil menemukan dan membunuh para pangikutnya, keberadaan mereka dapat kembali ditemukan di tempat lain. Para pengikutnya sudah seperti hama yang sangat sulit untuk di basmi.
"Sudah jelas ada Bangsawan yang membantu mereka. Penyebaran mereka terlalu cepat."
Leon menyutujui ucapan Felix. Dia sudah menyelidiki beberapa bangsawan yang mencurigakan namun karena kurangnya bukti dirinya tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan kekaisaran juga tidak bisa berbuat banyak.
Mereka bermain terlalu bersih.
"Lalu bagaimana dari sisi Putra Mahkota?"
"Merweka sudah melwakukan kerja samwa dengan Katedwal. High Priest sendiwri yang akwan memimpwin dari pihwak gerweja."
Felix berdecih mendengar jawaban Leon, "Tidak bisakah kau selesaikan makanmu dulu lalu berbicara denganku? Kau tidak sopan!"
Leon segera menegak habis segelas air putih dengan ekspresi bahagia.
"Maafkan aku. Tapi pie buatan Lady sangat enak. Aku tidak tahan untuk segera memakannya tapi kau malah mengajakku membicarakan Kuil Kegelapan."
"Itu buatan gadis itu?" Felix menatap Leon curiga. Ekspresinya seolah-olah berkata kalau ia akan menghabisi Leon jika pria itu berani membohonginya.
"Iya, Kepala Koki yang mengatakannya."
"Berikan padaku."
Leon menyerahkan sepotong pie yang tersisa dengan tatapan tak rela. Itu adalah pie terakhir yang tersisa di dapur. Ia tidak tahu kapan lagi bisa memakannya. Namun diam-diam sudut bibirnya terangkat melihat Felix yang menyuapkan sesendok pie ke dalam mulutnya.
'Lumayan.'
Felix terus memakannya dengan lahap. Ia biasanya tidak terlalu suka makanan manis. Namun kombinasi rasa dari pie ini sangat sesuai dengan seleranya. Tak butuh waktu lama sampai piring itu menjadi bersih kesat tak tersisa.
"Ada pergerakan baru dari Marquess Rounette?"
Leon segera memasang wajah serius, "Sesuai dugaan, Marquess melakukan pergerakan yang aneh. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya dia rencanakan. Aku juga tidak punya ide apakah dia memiliki hubungan dengan Kuil Kegelapan atau tidak."
"Dari awal aku harusnya sudah mencurigainya." Felix menautkan jari-jemarinya di atas meja.
Marquess Rounette memang terkenal licik. Dia akan melakukan apa saja yang dapat membawa keuntungan padanya. Dia terkenal sebagai pria serakah yang hidupnya hanya memikirkan uang dan wanita. Sayangnya dia adalah pebisnis yang handal. Menghasilkan uang adalah kemampuannya.
"Bagaimana jika Marquess benar-benar terikat dengan Kuil Kegelapan?"
"Aku akan membunuhnya," jawabnya tanpa keraguan.
"Lalu, Lady Aria?"
Felix memberi jeda sejenak, "Itu juga berlaku untuknya."
"Tapi kurasa Lady-"
Ucapan Leon terpotong saat Felix tiba-tiba melompat dan secepat kilat berlari ke pintu ruang kerjanya. Ia membuka pintu itu lalu menarik pedang di pinggang dan mengarahkannya pada sosok yang berdiri di sana.
"Ah, m-maafkan aku."
Felix terkejut menatap gadis yang berdiri di hadapannya. Aria tengah mendongakkan kepalanya menghindari bilah pedang Felix yang siap menebasnya kapan saja jika dia tiba-tiba bergerak.
"Apa yang kau lakukan disini malam-malam?"
Aria mengerjapkan matanya berusaha mengeluarkan suaranya dengan susah payah, "A-aku tidak sengaja melukai tanganku. Aku tidak bisa menemukan kotak obat di kamar, j-jadi aku keluar untuk mencari bantuan pelayan. M-maafkan aku."
Felix menurunkan pandangannya dan mendapati darah segar menetes dari tangan kanan Aria. Ia segera menarik kembali pedangnya dan membawa Aria masuk ke ruang kerjanya.
Leon yang melihat itu dengan sigap mencari kotak obat yang biasa disediakan di ruangan ini. Ia memberikan kotak itu pada Felix yang sudah berjongkok di hadapan Aria yang sudah mendudukkan diri sofa ruangan itu.
"Bagaimana bisa tidak ada orang yang menjaga kamar calon Duchess di Mansion ini. Sepertinya aku sudah terlalu lembek pada mereka semua."
"T-tidak, ini bukan salah mereka. Akulah yang terlalu ceroboh dan melukai diriku sendiri. Tolong jangan hukum mereka."
Felix menatap tajam Aria sebelum akhirnya menghela napas kasar. Aria hanya tidak mau membuat keributan sebelum ia meninggalkan Mansion ini.
Felix membersihkan lukanya dengan penuh kehati-hatian. Jarak yang begitu dekat di antara mereka membuat Aria menyadari pemilik rambut hitam dan mata keemasan itu sangatlah rupawan. Garis wajahnya begitu tegas membuat penampilannya terkesan dingin.
Bahkan deskripsi tokoh Felix pada novelnya sangatlah tampan. Aria sampai sempat berkata rela mari asalkan Felix sendiri yang membunuhnya. Sekarang ia sangat menyesali ucapannya itu. Ia tidak mau mati apalagi ditangan pria setampan Felix.
"Apa sangat sakit?"
"Sedikit." Aria menjawab sambil terus menatap wajah rupawan Felix. Ini mungkin menjadi terakhir kalinya ia melihat wajah idolanya jadi dia akan menikmatinya sebentar.
"Tadi itu pasti sangat menakutkan. Aku minta maaf."
Aria sempat bingung dengan kata-kata Felix, tapi sepertinya pria itu membahas kejadian tadi dimana Felix mengarahkan pedang padanya.
"Tidak apa-apa."
Felix jelas tahu itu hanyalah kebohongan semata. Sepasang tangan yang bergetar hebat di hadapannya sudah menjelaskan semua. Lagipula siapa yang tidak takut saat tiba-tiba sebilah pedang berada dilehernya?
Felix menggenggam kedua tangan itu dan mengelusnya pelan. Ia semakin merasa bersalah pada gadis di hadapannya ini.
"Leon tolong bereskan mejaku. Aku akan mengantar Lady Aria ke kamarnya."
Aria ingin menolak niat Felix namun pria itu sudah menarik tubuhnya untuk berdiri.
"Kau bisa berjalan?"
Aria mengangguk, "Tentu, yang terluka itu tanganku, bukan kakiku."
Felix terkekeh pelan mendengarnya. Walau begitu dia bisa melihat kaki mungil gadis di sebelahnya terlihat begitu lemas seolah-olah bisa runtuh kapan saja. Felix segera menuntun Aria ke kamar gadis itu meninggalkan Leon yang langsung melakukan perintahnya.
Sesampainya di kamar Aria segera merebahkan diri dan Felix membantunya menarik selimut sampai menutupi dadanya. Tak lupa Felix mematikan lampu kamar sebelum akhirnya meninggalkan kamar Aria begitu memastikan gadis itu telah tertidur.
***
Aria membuka mata begitu yakin Felix telah berada jauh dari kamarnya. Aria mendengar perkataan yang keluar dari mulut pria itu dengan jelas.
Mati. Felix memang berniat membunuhnya.
Aria menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Rasa takut yang sekuat tenaga ia tahan kini telah meledak. Dia ingat bagaimana bilah pedang Felix nyaris memotong lehernya. Bila saja refleksnya tidak bagus dan ia terlambat menghindar, sudah jelas bukan hanya tangannya saja yang terluka. Leher juga pasti akan diperban sekarang.
Mengetahui pria itu tanpa ragu mengarahkan pedangnya pada siapa saja membuat Aria semakin takut. Dia bahkan kesulitan untuk mengatur napasnya sendiri. Air matanya sudah merembes entah sejak kapan. Yang terpikir olehnya saat ini adalah kabur. Aria harus pergi secepatnya.
Dia tak tahu kapan pria itu akan membunuhnya. Mungkin aja kematiannya akan terjadi lebih cepat daripada di novelnya. Ia harus melarikan diri sebelum semua terlambat.
-To be Continued-
______________________
5 December 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Run Away With My Child [Reinkarnation Stories]
Fantasy[Bukan Novel Terjemahan - END] #9 in Fantasi !!! #1 in Fantasy !!! #1 in Romansa !!! Potongan memori yang terakhir dia ingat adalah ketika matanya memandang langit-langit saat tubuhnya jatuh dari atas tangga apartemennya. Namun ketika terbangun, dia...