-15- Trap

66.3K 9.9K 146
                                    

DDUUUAAARRRRR!!!!!!

Ledakan dasyat membentuk kepulan asap berpadu dengan percikan api. Orang-orang yang berada di sekitar spontan menutup telinga. Bahkan beberapa orang yang berada terlalu dekat dengan sumber ledakan terkena gelombang kejut membuat mereka terpental sejauh beberapa meter.

Leon menatap ke pintu masuk di mana ia dapat melihat tubuh-tubuh berserakan tak bergerak. Prajurit dan penjaga yang telah bersiap segera memberikan pertolongan pada orang-orang yang terluka. Mereka masih hidup, hanya saja terluka cukup parah.

Tangan pria itu terkepal karena ia tahu Tuannya masih berada di dalam sana. Leon sebelumnya tak pernah mengkhawatirkan Felix karena dia tahu orang sekuat apa Tuannya itu. Namun saat ini ia merasa tidak nyaman.

Dari arah kerumunan para penonton, seorang wanita sibuk menerobos lautan manusia yang berkumpul di lokasi kejadian. Matanya bergerak kesana kemari dengan cepat seolah tengah mencari sesuatu.

"Aiden!"

"Aiden, dimana kau!"

Leon yang menyadari sosok familiar itu segera menghampiri Aria. Dia membawa wanita itu ke tempat dimana para pengungsi dikumpulkan untuk segera di data.

"Lady Irene, sedang apa Anda disini?" Leon memberikan pertanyaan yang sebenarnya sudah ia ketahui jawabannya.

"L-leon, Aiden...Aiden bilang ingin pergi kesana. Dimana dia sekarang?"

Aria menunjuk ke bangunan toko yang diselimuti api di beberapa bagian. Para prajurit terlihat berusaha memadamkan api dengan air dan bantuan alat sihir.

"Aiden..."

Leon menggigit bibir bawahnya. Dia memang melihat Aiden ada di toko itu, tetapi dia tidak menemukan anak itu di antara para pengungsi. Leon yakin Aiden masih terjebak di dalam sana. Tapi bagaimana dia bisa memberitahu kenyataan itu pada sosok wanita di hadapannya ini. Leon yakin jika Aria tahu dia akan nekat mencari Aiden seorang diri di sana.

Tapi haruskah dia berbohong pada seorang ibu yang melahirkan anak itu? Aria jelas berhak tahu keberadaan anaknya.

"Aiden masih berada di dalam. Dia tidak sempat mengungsi."

Aria memebelalakkan matanya. Sebelah tangannya menutupi mulutnya yang terbuka lantaran terkejut dengan perkataan yang diucapkan Leon. Dia menoleh ke arah bangunan toko yang sudah dipadamkan. Kakinya spontan berjalan ke tempat itu seolah bergerak dengan sendirinya.

"Lady Irene, itu berbahaya!" Leon menarik lengan Aria membuat wanita itu tetap disisinya.

"Tapi Aiden... bagaimana bisa aku membiarkannya..."

Leon memegang kedua bahu wanita itu lalu menunduk dan mensejajarkan pandangannya, "Duke Felix juga berada di sana. Aiden pasti aman bersama dengan Duke. Jadi kumohon tetaplah disini."

Aria jatuh berlutut kehilangan seluruh tenaganya. Kedua tangannya menutupi wajah yang sudah basah dengan air mata. Aria hanya berharap Aiden baik-baik saja. Tak bisa ia bayangkan jika harus kehilangan satu-satunya harta paling berharga di hidupnya.

"Lady, mari ikut saya."

Aria bangkit dengan batuan uluran tangan dari Leon. Kakinya masih terasa lemas dan perasaannya begitu kalut. Leon membawa Aria ke tempat pengungsian, namun di tengah itu terdengar keributan yang berasal dari lokasi kejadian.

Aria menatap Leon yang terpaku pada sesuatu lalu ikut menoleh ke arah pandangan pria itu. Matanya menangkap pemandangan seorang pria berjalan ke arahnya dengan membawa anak kecil didalam dekapannya.

"Duke..."

"Aiden!"

Aria segera menghampiri Felix yang membawa Aiden dalam gendongannya disusul oleh Leon yang sama cemasnya. Aria segera mengambil alih tubuh Aiden yang tak sadarkan diri dengan luka lecet di beberapa bagian tubuh.

"Bawa Aiden ke petugas medis," ucap Felix lemah.

"Duke, Anda juga terluka."

Leon menyadari punggung kekar Felix terekspos lantaran pakaiannya yang rusak di bagian belakang. Bahu lebarnya dipenuhi luka bakar dan luka gores yang berdarah.

"Duke, Anda juga harus diobati."

Aria menarik jari tangan Felix membawanya ke tempat dimana petugas medis berada. Aiden kini sudah berada di gendongan Leon masih tidak sadarkan diri. Sedangkan Felix hanya bisa pasrah menatap jemarinya yang digenggam oleh wanita yang berjalan di depannya.

Seulas senyum tipis terbit di wajahnya.

***

Aria terus menggenggam jemari mungil milik Aiden yang terlihat pucat. Anaknya itu masih tidak sadarkan diri dan luka-luka lecet ditubuhnya sudah diobati. Dokter yang tadi memeriksa Aiden berkata bahwa anak itu baik-baik saja.

Aiden belum sadarkan diri karena terkena efek gelombang sihir yang berasal dari alat peledak. Tubuh Aiden yang masih kecil terlalu rapuh untuk menerima gelombang sihir yang kuat berakibat tubuhnya mengalami shock.

Aria bersyukur Aiden baik-baik saja dan tidak ada masalah serius yang menimpanya. Aiden mungkin akan segera sadar dalam hitungan jam.

Kreett...

Aria tersadar saat mendengar suara kursi di tarik dan mendapati Duke Felix duduk dikursi sebelahnya. Tubuh bagian atas pria itu hanya dililit dengan perban tanpa menggunakan atasan apapun membuat Aria segera mengalihkan pandangannya.

Melihat tubuh Felix membuat Aria teringat tentang kejadian 'itu'. Dia seketika malu padahal dia tidak mengalaminya langsung. Tetap saja menurutnya itu memalukan.

"Ini semua salahku. Maafkan aku karena tidak mampu menjaga Aiden."

Aria terkejut dengan pengakuan tiba-tiba Felix. Tak sedikitpun Aria pernah menyalahkan pria itu. Satu-satunya orang yang harus disalahkan adalah dirinya sendiri karena telah lalai sebagai seorang ibu.

"Itu tidak benar, Duke. Aku bersyukur kau sampai mengorbankan diri untuk melindungi Aiden. Terima kasih banyak dan jangan salahkan dirimu sendiri."

Aria menyelipkan rambutnya ke belakang telinga lalu kembali menatap Aiden, "Harusnya aku tidak membiarkannya berkeliaran seorang diri. Lagi-lagi aku lalai menjaga Aiden."

"Kau adalah ibu yang hebat bagi Aiden. Dia pasti sedih jika mendengar itu."

Aria tersenyum tipis. Bagaimana jika Aiden tahu orang yang menolongnya adalah Ayah kandungnya. Aiden pasti senang tapi Aria tidak bisa memberitahu kenyataan itu. Bahkan tanpa mengetahui ikatan darahnya dengan Aiden, Duke tetap menolong anaknya. Apakah ini yang dinamakan takdir?

Mendengar perkataan dari mulut Aria tidak membuat rasa bersalah Felix menghilang seutuhnya. Melihat Aiden tak kunjung sadar membuatnya semakin menyalahkan diri. Logikanya sadar dirinya tidak sepenuhnya salah, tapi perasaannya bertolak belakang.

Dari dalam diri Felix ada dorongan yang kuat untuk melindungi Aiden. Saat melihat Aiden terluka, hatinya terasa tercabik-cabik. Tubuh mungil Aiden yang kala itu berada dalam dekapannya terasa begitu rapuh. Bagaikan kaca yang yang akan pecah dan hancur jika tidak dilindungi dengan benar.

Felix tidak menduga efek ledakan yang ditimbulkan alat sihir dapat sebesar itu. Padahal pasukannya sudah memasang perisai sihir berlapis-lapis guna meredam efek ledakan. Tidak bisa dibayangkan sedasyat apa ledakan yang ditimbulkan apabila tidak ada perisai sihir.

Pertemuan pengikut Kuil Kegelapan kali ini hanyalah umpan semata. Felix menyadari musuh sengaja berniat mengumpulkan mereka di tempat itu untuk kemudian dimusnahkan secara massal dengan menggunakan alat peledak.

Untungnya Felix telah mengerahkan pasukan terbaiknya sehingga kekacauan yang ditimbulkan dapat diminimalisir. Mereka juga berhasil menangkap beberapa orang mencurigakan yang diduga sebagai pengikut Kuil Kegelapan. Setidaknya kali ini ada kemajuan yang mereka hasilkan walaupun juhmga diimbangi dengan kerugian.

"Enghh..."

Kelopak mata Aiden perlahan terbuka. Tangannya segera menutupi matanya menghalau cahaya lampu yang menyilaukan pandangan. Dia segera mendapati ibunya bersama dengan Duke Felix menatapnya dengan khawatir.

"Aiden, kau baik-baik saja?"

-To be continued-
_____________________________

8 January 2021

Update spesial ultah Author!!
Semoga kalian suka!
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen yaaw!

Run Away With My Child [Reinkarnation Stories]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang