Ruangan tak terlalu besar itu, selintas didesain dengan tema yang menarik. Beberapa dindingnya terdapat pigura yang memajang gambar perempuan-perempuan yang mengenakan salwar kameez—pakaian khas etnis Punjabi. Gambarnya beragam, ada yang memukul padi, membawa bakul, dan ada yang memegang nyiru beras. Tiang-tiang di tengahnya terdapat ukiran kayu swati khas Asia Selatan. Meja-meja memenuhi isi ruangan yang diberi jarak. Di bagian dalam terdapat bar lumayan panjang, tempat dimana beberapa pelayan sibuk mengatur pesanan. Ukiran di belakang bar, berkelok-kelok membentuk susunan mirip bunga. Mayoritas warna furnitur berwarna agak gelap dan kecokelatan.
Jika memandang ke atas, langit-langit seperti menjulang. Tingginya hampir lima meter. Sementara susunan keramiknya diatur jajaran genjang, warnanya putih bergaris-garis cokelat. Secara keseluruhan angka delapan mungkin bisa menjadi rate yang pas untuk tempat ini. Sayang, ruangan ini tampak sepi pengunjung. Hanya terdapat empat orang yang menjadi pelanggan sore itu, satu pria yang mengenakan peci, dua lelaki muda yang sedang asyik mengobrol di meja dekat bar, serta seorang wanita yang sibuk memperhatikan ponselnya.
Wanita tersebut mengenakan kaus yang dilapasi dengan kemeja lengan panjang. Roknya berwarna hitam dan lumayan lebar. Posisinya yang dekat dinding kaca, mampu membuatnya membuang pandang ke luar. Jalanan kota Jamshed Town, sedikit lembap. Gerimis baru saja selesai membasahi bumi. Sisa-sisa musim dingin masih terasa di Maret ini.
Driiit... Driiit. Ponsel yang berada di meja wanita tadi bergetar. Cepat-cepat dia mengecek. Sebuah pesan singkat. Dari Adil.
Lima menit lagi aku tiba
Wanita itu menutup ponsel. Garis-garis senyum langsung tercetak di bibirnya. Adil adalah pria yang seharusnya sudah duduk di sampingnya dua puluh menit yang lalu. Kemarin ketika kelas profesor Tariq berakhir, wanita itu langsung mengutarakan niatnya mengajak Adil. Wanita itu menawarkan sebuah restoran yang tak jauh dari apartemennya, sebagai tempat pertemuan mereka.
Beberapa menit berikutnya, dari pintu yang seluruhnya kaca seorang pria bertubuh tegap muncul. Kira-kira tingginya 181 sentimeter. Hidungnya runcing, dengan bola mata tajam. Alisnya tebal dan tegas. Bulu-bulu halus memenuhi sisi pipi hingga bagian dagu. Kumisnya juga tipis. Pria itu mengenakan kurta—baju pria khas Asia Selatan; Pakistan, India dan Bangladesh—yang panjangnya hingga di bawah lutut, berwarna krem. Pria itu bergerak ke arah meja wanita tadi. Gaya jalannya kurang sempurna, kaki kanannya seolah bergerak berlawanan dengan kaki kirinya. Dialah Adil.
"Maaf, aku terlambat," ucap Adil dengan menarik kursi. Sekejap dia sudah berhadapan dengan wanita itu. "Kau sudah lama menunggu?"
"Hampir setengah jam."
Adil menatap sekeliling. "Oh Lintang, kau selalu tahu makanan kesukaanku!"
"Aku tahu. Makanya aku mengundangmu ke restoran Punjab," ucap Lintang semangat.
"Oh, gadis Indonesia yang baik hati," puji Adil.
Lintang memang berasal dari Indonesia. Dia hijrah ke Pakistan setelah mendapatkan beasiswa gratis dari pemerintah. Dia memutuskan mengambil jurusan Manajemen di Institute of Business Administration Karachi. Di Karachi dia menyewa sebuah apartemen murah bersama temannya Ayesha, gadis asli Pakistan yang berasal dari kota Peshawar. Mereka saling mengenal ketika sama-sama masuk kelas Manajemen di semester pertama. Keramahan membuat keduanya cepat akrab. Orangtua Lintang sudah lama tiada. Ayahnya meninggal saat dia berusia dua belas tahun. Empat tahun berselang, ketika duduk di bangku kelas 2 SMA ibunya menyusul sang ayah. Sejak itulah Lintang berusaha mencari nafkah sendiri untuk makan dan biaya sekolah, meski sebenarnya dia masih menerima bantuan dari keluarga dekatnya. Beberapa tahun menjalani kehidupan mandiri membuatnya nekat mengincar beasiswa pemerintah Indonesia ke Pakistan. Toh, di manapun dia berada tetap pilihan untuk survive pasti menjadi jalan hidupnya. Untunglah sebagai anak tunggal memudahkan segalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)
General FictionSuatu masa, saat melupakan menjadi takdir yang tak kau sukai *** Adil tak pernah tahu, bahwa cinta akan menyapanya secepat itu. Tapi yang dia yakini, bahwa perempuan bernama Lintang bukanlah belahan jiwanya. Ayesha-lah wanita yang dia tunggu. Sa...