Hampir setengah jam Adil melepas kangen dengan ayah. Untunglah sipir penjara baik hati melonggarkan waktu besuk setelah menyaksikan air mata Paman Najaf.
Adil sendiri senang karena dalam hitungan bulan ayah akan melepas statusnya sebagai narapidana. Sementara itu, Lintang mendapat banyak terima kasih dari Paman Najaf atas kebaikannya menjaga Adil, walau di belakangnya ada andil besar Ayesha dan Fahad.
Hari hampir sore ketika Adil dan Lintang keluar penjara. Mereka memutuskan jalan kaki menyusuri Alamngir Road, hingga pusat Bahadurabad yang memang mudah dijangkau dari Central Jail Karachi. Bahadurabad sendiri terletak di kawasan Zivic Centre, Gulshan Town. Awalnya kawasan ini dihuni masyarakat kelas menengah terutama warga Hyderabadi Muslim yang merupakan pengungsi dari Hyderabad Deccan—kawasan yang kini dikenal sebagai Hyderabad di India. Saat ini Bahadurabad sudah dikepung gedung-gedung tinggi, perkantoran, serta pertokoan, tak heran jika Bahadurabad menjadi salah satu kawasan sibuk di Gulshan Town.
Langkah mereka perlahan mendekati persimpangan utama Bahadurabad. Semua jenis kendaraan, mulai dari mobil, truk, motor dan sepeda melewati jalur ini. Tepat di tengah persimpangan berdiri megah monumen Charminar. Bangunan ini merupakan replika Charminar—sebuah monumen sekaligus masjid yang ada di Hyderabad, India. Bentuknya berupa bangunan persegi, di setiap sisinya memiliki gerbang yang menghadap empat jalan utama di persimpangan. Setiap sudut atapnya dilengkapi menara-menara runcing. Warna Charminar semuanya emas. Taman-taman mungil yang melingkupi monumen menambah kesan artistik Charminar. Persimpangan ini selalu jadi ikonis bagi penduduk Bahadurabad.
Berada di sini, Lintang ingat sekali dengan bundaran Hotel Indonesia di Jakarta, tapi versi mininya.
Angin menerbangkan sebagian rambut Lintang.
"Hei, tadi kenapa kau ikut menangis di penjara?" tanya Adil ketika posisi mereka sudah menghadap Charminar.
"Emm," Lintang masih mencari-cari kalimat yang pas. "Harusnya kau tahu, siapa pun yang menyaksikan situasi tadi pasti akan meneteskan air mata."
"Hahaha, kau orangnya melankolis ternyata!"
Lintang menyimpan senyumnya. "Aku sudah tidak punya orangtua lagi, mungkin kau tak ingat aku pernah mengatakannya. Melihat kalian tadi, membuatku rindu almarhum ayah. Bahkan kau dan Paman Najaf seolah bukan sekadar ayah-anak tapi seperti sahabat."
Adil hanya mengembus napas.
"Kau sendiri kenapa tidak menangis?" tanya Lintang balik.
"Aku?" Kening Adil mengerut. Pria itu berpikir sebentar. "Karena aku cowok, jadi pantang untuk menangis."
"Hum," Lintang mencibir. "Trus yang di rumah sakit tempo hari?" Lintang ingat air mata Adil yang menetes di rumah sakit.
Adil tersenyum, ketahuan alasannya tadi bohong. "Sebenarnya tadi aku juga sedih. Tapi aku menahannya. Aku tidak ingin menambah kesedihan Ayah dengan tangisanku," jabar Adil kemudian.
"Lelaki pandai menyembunyikan perasaan!" celetuk Lintang separuh menyindir.
Adil menghentikan langkah sebentar. "Kau pikir wanita tidak pernah melakukannya?"
"Pernah, tapi—" Lintang sulit menjelaskan. "Oke, semua orang pernah menyimpan perasaan. Tidak mengenal gender," Lintang seolah menyerah adu argumen.
"Nah, itu baru betul," seru Adil puas.
Mereka lantas mengubah topik pembicaraan yang lebih mengundang tawa. Jujur Adil begitu lepas seakan sikapnya ke Lintang masih sama seperti sebelum insiden kecelakaan. Sore itu sebelum memutuskan kembali ke Jamshed Town, mereka singgah di salah satu kedai makan sepanjang Tariq Road. Hanya bekal sarapan tadi pagi, siapa pun akan lapar melakukan perjalanan hingga sore.
.....bersambung ke Chapter Seven [D]
Author Note:
-Chapter ini adalah part terakhir perjalanan Adil dan Lintang ke Gulshan Town. Maaf kalau post-nya cicil-cicil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)
General FictionSuatu masa, saat melupakan menjadi takdir yang tak kau sukai *** Adil tak pernah tahu, bahwa cinta akan menyapanya secepat itu. Tapi yang dia yakini, bahwa perempuan bernama Lintang bukanlah belahan jiwanya. Ayesha-lah wanita yang dia tunggu. Sa...