Ayesha menarik kursi ke jendela. Wanita itu merebahkan bokong dan menjauhkan pandang ke luasnya Jamshed Town.
Wanita itu tahu persis, hari ini lewat penerbangan kedua Navid akan meninggalkan Karachi. Mungkin sudah setengah jam lalu pria itu berada di ruang tunggu bandara. Menanti panggilan operator dan siap-siap terbang. Memang bertahan di kamar akan terkesan jahat, tapi apa yang bisa dilakukan Ayesha selain ini? Berhadapan dengan Navid, berusaha santai, bersapa ramah seolah kejadian di pameran bunga tidak pernah terjadi, mustahil dilakukan Ayesha. Sebab bagaimana pun, rasa canggung pasti ada.
Biarkanlah Navid berpikir apa pun tentangnya.
---
Koper menjadi tumpuan duduk Navid. Pria itu belum mau masuk untuk check in. Pandangannya masih awas pada taksi atau mobil yang menepi di pelataran bandara. Berharap orang yang turun adalah Ayesha.
Setengah jam tak ada tanda-tanda.
Navid mengambil ponsel di saku, dan mengecek layar. Tak ada panggilan masuk atau pesan baru di ponselnya. Ayesha tak mungkin melakukannya. Pria itu menghela napas.
Sepuluh menit lagi waktu check in berakhir. Pria itu kembali menerawang orang-orang yang keluar dari kendaraan. Batang hidung Ayesha tak terlihat. Meski dia tahu Ayesha mungkin saja kecewa, tapi Navid tetap berharap wanita itu datang ke sini, setidaknya untuk mengucapkan selamat tinggal.
Sisa lima menit terakhir. Navid mengetik pesan, sampai nanti kita ketemu lagi. See you soon. Satu menit pria itu membaca ulang. Sesaat dia tak yakin, bisa sedemikian kuat menulis kata-kata tesebut untuk Ayesha, seolah penolakan tak pernah terjadi. Pria itu mencari kontak Ayesha dan send.
Navid menyimpan ponselnya kembali, lalu menarik koper. Saatnya melewati pintu pemeriksaan.
***
"Kau selalu menjadi orang yang berada di dekatku. Seribu ucapan terima kasih mungkin tak cukup membayar kebaikanmu," Adil berujar panjang. Saat ini dia dan Lintang sedang berada dalam satu bus. Kendaraan tersebut hampir sampai di Gulshan Town. Memang sesuai kesepakatan sebelumnya, hari ini, mereka akan mengurusi ihwal pembebasan ayah Adil.
"Seharusnya dalam persahabatan tak ada ucapan terima kasih. Itu akan menjadi beban." Lintang menyapu rambutnya yang jatuh menutupi mata. "Aku senang menemanimu. Kupikir, di dunia ini, siapa pun akan bahagia jika bisa membantu orang lain."
"Di kepalaku," Adil menunjuk kepalanya dan melanjutkan, "segalanya kabur tentang hal apa pun dalam masa lima tahun terakhir. Tapi aku yakin, dalam masa laluku kau adalah wanita yang baik, sama seperti yang kukenal hari ini."
Lintang hanya menatap jok di depannya.
Sementara itu bus yang mereka tumpangi sudah memasuki University Road. Mereka hampir dekat dengan Central Jail Karachi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)
Ficção GeralSuatu masa, saat melupakan menjadi takdir yang tak kau sukai *** Adil tak pernah tahu, bahwa cinta akan menyapanya secepat itu. Tapi yang dia yakini, bahwa perempuan bernama Lintang bukanlah belahan jiwanya. Ayesha-lah wanita yang dia tunggu. Sa...