Rupanya pesan singkat Navid tak berhenti malam itu. Besok paginya dia mengirimkan ucapan, semisal selamat pagi atau selamat sarapan. Siangnya dia menanyakan kabar, dan kuliah Ayesha. Kalau malam, pria itu mengirimi nasihat, seperti jangan terlalu begadang atau tidur lebih awal baik untuk kesehatan. Sekenanya Ayesha membalas, dia tidak mungkin membiarkan Navid menjadi orang bodoh yang hanya menanti jawaban atas sms-sms-nya.
Namun sehari setelah Ayesha sudah intens membalas pesan singkat Navid, wanita itu jadi kaget sendiri, sebab pria itu mengirimkan sms yang lebih to the point ke ponselnya, aku akan ke Karachi besok dengan penerbangan pertama. Mata Ayesha membulat, pesan ini senada dengan pesan ayah dalam e-mail terakhir yang masuk ke inbox, saat itu ayah mengungkapkan kalau Navid akan datang berkunjung. Dia harus bagaimana?
Ayesha lemas, apalagi sekian jam setelahnya ayah menelepon, memberitahukan kepergian Navid. Kata ayah sebaiknya dia menjemput di bandara. Wanita itu bahkan diam dua menit lebih setelah saran ayah mencuat di ujung telepon.
"Bagaimana Ay," Ayah menanyakan lagi kepastian Ayesha.
"Ya, Ayah tadi ngomong apa?" Ayesha pura-pura tak mendengar saran ayah. Dia hanya sedang menimbang-nimbang.
"Kepastian untuk menjemput Navid!" kata Ayah kali ini agak tegas.
Rasa-rasanya Ayesha tidak bisa menolak, sebab perintah ayah seperti titah yang harus dilaksanakan. Mau tak mau. "Baiklah, Yah!" suara Ayesha terdengar kurang semangat.
Besoknya dengan gairah kendur, Ayesha bersiap-siap. Wanita itu hanya mengenakan baju panjang ala kadar, tanpa riasan yang mencolok. Dia harus datang ke bandara sebelum pukul 11.20 siang, penerbangan pertama dari Peshawar biasanya selalu tepat waktu. Navid menggunakan maskapai Pakistan International Airlines yang melayani rute dalam negeri. Perjalanan dengan pesawat ini memakan hampir dua jam.
Dia masih ingat ketika tadi jam delapan Navid untuk pertama kali berani menelepon, mengabarkan kalau dia sudah berada di ruang tunggu bandara, dan mengatakan kalau dia senang bisa ke Karachi hari ini. Pria itu tidak menyadari kalau Ayesha kurang antusias.
Sepuluh menit lebih awal Ayesha tiba di Jinnah International Airport. Suasana di sekitar lebih banyak didominasi oleh masyarakat lokal. Mereka merupakan penumpang yang akan melakukan perjalanan domestik atau perjalanan ke luar negeri. Sejumlah turis mancanegara juga tampak, rata-rata mereka mendorong troli yang sudah terisi barang. Bandara Jinnah termasuk salah satu bandara tersibuk di Pakistan. Bunyi bising dari mesin-mesin pesawat terdengar memekak. Jujur memang, Ayesha jarang mengunjungi bandara. Jika pulang ke Peshawar dia sering menggunakan kereta api. Lebih enak melakukan perjalanan dengan melihat Pakistan lebih dekat daripada harus memandangi Pakistan dari udara. Sekali pernah, dia menyewa mobil dari Jamshed Town menuju kampung halaman, dan itu butuh waktu hampir sehari semalam.
Gegas Ayesha memutuskan langsung ke area kedatangan, biar tidak repot mencari Navid. Dia menggenggam susu cokelat dingin di dalam pet cup, dan berjajar di antara penunggu lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)
General FictionSuatu masa, saat melupakan menjadi takdir yang tak kau sukai *** Adil tak pernah tahu, bahwa cinta akan menyapanya secepat itu. Tapi yang dia yakini, bahwa perempuan bernama Lintang bukanlah belahan jiwanya. Ayesha-lah wanita yang dia tunggu. Sa...