Di kamar Adil mengganti pakaian seadanya, sebuah kurta cokelat yang potongannya pendek di atas paha serta celana jeans hitam pudar, pada bagian lututnya sedikit robek-robek. Pria itu menemui Lintang di lantai bawah dan beriringan keluar.
Untuk sampai ke Gulshan Town mereka harus menumpangi taksi ke terminal pusat kota. Adil dan Lintang tidak banyak mengobrol saat taksi melaju. Pria itu hanya sesekali membicarakan perubahan-perubahan Gulshan Town yang tampak sepanjang jalan, sementara Lintang menyediakan jawaban yang dia tahu seputar kota ini. Tidak ada pembicaraan lain, hingga mereka tiba di terminal.
Pagi itu terminal lumayan ramai. Bus-bus dari berbagai distrik berjajar. Penumpang-penumpang luar kota sibuk turun. Sebagian yang lain akan melanjutkan perjalanan ke distrik-distrik sekitar Karachi, dan sebagian lagi adalah penumpang Jamshed Town yang akan keluar kota. Adil lagi-lagi cengang, terminal yang seingatnya semrawut kini tertata baik. Dasar terminal pun lebih bersih dari sampah. Pembagian jalur busnya malah sudah dilengkapi tanda pengenal berupa sebuah papan kecil yang digantung di atas barisan bus. Lintang membawa Adil ke deretan Gulshan Town.
Bus paling depan masih menyisakan beberapa bangku kosong. Adil dan Lintang menempati dua kursi paling belakang dekat pintu keluar. Posisi Adil dekat jendela.
"Selain kau dan Ayesha, apa ada lagi yang mengetahui identitas ayahku?" tanya Adil ketika mereka sudah empat menit di dalam bus.
"Setahuku tidak ada," jawab Lintang.
"Memiliki ayah seorang kriminal bukan sesuatu yang baik. Apalagi dibanggakan. Kau tahu, beberapa hari setelah ayah ditetapkan sebagai tersangka, orang-orang di sekitarku tiba-tiba menjadi musuh. Hanya rekan setimku di Karachi FC dan Fahad-lah yang mau menerima statusku sebagai anak narapidana."
"Dunia kadang tak adil," Lintang berkomentar. "Sebagian langsung meng-generalisir buruk orang-orang yang memiliki keluarga bermasalah."
Bus meninggalkan terminal.
Angin di luar berembus kencang. Jendela yang terbuka membuat debu terbawa masuk. Adil sempat memicing mata akibat debu menyapu wajahnya.
"Apa ayahku tahu soal kecelakaan yang menimpaku?" tanya Adil lagi.
Lintang menggigit bibir bagian bawah. "Ya, tahu," ada sungkan dalam hati ketika Lintang menjawab. "Akulah orang yang memberi tahu ayahmu soal itu."
Adil hanya menoleh sebentar ke samping Lintang, lalu melurus pandang lagi ke depan.
"Yang kulakukan mungkin terkesan lancang," aku Lintang jujur. "Kau berhak marah padaku."
Adil menarik napas dalam. Dia tersenyum kecil. "Aku tak tahu apa aku harus marah atau tidak. Tapi sebagai orangtua, beliau memang harus mengetahui kabarku."
"...."
"Saat ini yang kutakutkan adalah pertanyaan-pertanyaan ayah nanti. Bagaimana kalau dia menanyakan soal setahun atau dua tahun lalu. Atau menanyakan sebuah janji yang pernah kuucapkan padanya, misalnya. Kau tahu kan, aku tidak bisa menjawab semua itu. Aku tidak bisa membayangkan jika ayah tahu aku mengalami amnesia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)
General FictionSuatu masa, saat melupakan menjadi takdir yang tak kau sukai *** Adil tak pernah tahu, bahwa cinta akan menyapanya secepat itu. Tapi yang dia yakini, bahwa perempuan bernama Lintang bukanlah belahan jiwanya. Ayesha-lah wanita yang dia tunggu. Sa...