Chapter Six [E]

4.9K 349 120
                                    

Pukul 22

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pukul 22.47

Di kamar Lintang menunda untuk beristirahat. Wanita itu memilih berada di depan jendela. Angin malam yang berembus menerbangkan ujung-ujung rambutnya.

Lintang lalu teringat akan Adil. Perkenalan mereka tadi membuatnya tersenyum. Ini benar-benar lucu bagaimana mungkin Adil mencetuskan ide tersebut. Mungkin Adil benar itu harus dilakukan, toh hubungan mereka memang harus diawali lagi. Gurauan Adil di ruang tengah dan tawanya di taman belakang membayar seluruh kangen Lintang yang sudah menumpuk. Menggunung selama dua minggu.

---

Pukul 23.10

Sudah setengah jam Ayesha memutuskan untuk tidur, namun entahlah matanya sulit terpejam. Balik ke kanan tak nyaman, balik ke kiri tidak enak.

Segera Ayesha menyibak selimut dan bangkit dari ranjang. Dia mendekati meja belajar dan merebahkan bokong di kursi. Wanita itu mengusap lembut wajahnya. Ayesha menatap jarum-jarum jam yang bergerak di beker duduk yang ada di meja. Semenit berikutnya wanita itu membuka laci meja. Ayesha mengambil kotak merah berbentuk persegi yang tersimpan di dalam, dan meletakkannya di atas meja.

Dalam diam Ayesha memperhatikan benda tersebut. Kotak ini Ayesha dapatkan tiga minggu lalu di Hill Park—saat bintang banyak bertaburan di langit. Lambat-lambat Ayesha membuka kotak, di dalam tampak kalung liontin. Bercahaya. Terbuat dari emas putih membuat perhiasan ini klasik. Liontinnya berupa kembang berongga yang diukir rumit. Wanita itu meletakkan Liotin di dalam telapak tangan, dan membiarkan kalungnya menjuntai. Saksama Ayesha mengelus-elus setiap detail liontin. Lama. Wanita itu lantas mengulum bibir dan tersenyum.

---

Pukul 23.55

Kopi yang masuk ke lambung Adil tadi, rupanya memberi efek di kepala. Kantuk yang biasanya menyerang di jam sekarat seperti ini tak kunjung datang.

Adil yang sudah belasan menit di kasur, menempelkan bantal ke kepala ranjang. Pria itu menyandarkan pungggung di bantal dengan posisi duduk. Lututnya menekuk ke atas. Adil mengambil notes cokelat yang berada di samping paha. Berbekal pena yang berada di dalam notes, Adil mulai menulis.

Seperti sebuah kisah, segala sesuatu memang harus dimulai. Aku tidak tahu apakah keputusanku untuk mengenal kembali dua wanita yang katanya telah 'hidup' dalam hidupku adalah tepat, tapi kurasa mereka adalah jalan cerita yang harus kukumpulkan kembali. Lupa ingatan yang kualami seperti mimpi buruk. Namun apa daya aku harus melewatinya, dan menemukan kembali kepingan cerita adalah satu-satunya jalan yang harus kutempuh.

Lintang—begitulah nama perempuan itu. Katanya kampus adalah lokasi pertama aku menemukannya. Namun kepalaku tak mengizinkan aku untuk mengingat. Perempuan dengan wajah bulat dan rambut sebahu itu bagai bocah kecil yang bersemangat. Di setiap pembicaraan kami aku menemukan letupan kembang api dari matanya. Mungkin dia bahagia karena melihat perkembangan kesehatanku. Aku juga heran bagaimana wanita itu sangat fasih melafalkan bahasa Urdu sedemikian lancar. Akh, waktu tiga tahun di Pakistan amat mudah baginya untuk mempelajarinya. Sejujurnya aku merasa perkenalan kami tadi sedikit aneh. Tapi aneh bukanlah sesuatu yang kadarnya bisa ditetapkan. Aneh untukku bukan berarti aneh untuknya.

Ayesha—wanita kedua yang kemudian kukenal beberapa jam lalu. Gadis berjilbab dengan rona wajah berseri. Melihatnya mengenakan kerudung membawa ingatanku pada ibu. Dulu pernah aku bercerita pada ibu, jika menikah aku ingin memiliki pasangan berhijab. Aku tak tahu kenapa, yang pasti itu menarik bagiku. Bahkan makanan yang dibawa Ayesha lagi-lagi membuat aku rindu akan ibu. Ibu dulu sering memasak segala macam, sebagai wanita yang memegang tradisi beliau selalu menyediakan makanan Punjab. Itulah mengapa aku lahap saat menikmati makanan-makanan tadi.

Entahlah, aku sepertinya senang (pernah) mengenal dua wanita ini—setidaknya setelah ingatanku lenyap.

Adil selesai menulis. Pria itu mengembus napas dan menutup notes. Benda itu kembali dia letakan di samping. Adil lalu memosisikan bantal ke tempat semula, dan merebahkan seluruh raga. Tidur bisa menjadi penutup hari yang baik.

.....bersambung ke Chapter Seven [A]

Author Note:

-Seluruh Chapter Six sudah complete.
-Catatan yang ditulis Adil, terinspirasi dari buku Curhat Setan karya Fahd Djibran.

-Chapter ini ada tiga part tapi pendek
-Yang mau namanya aku dedikasikan di Chapter ini silakan komentar. Open Request kok, hehehehe (bagi yang belum pernah dapat dedikasi)

Dear silent readers vomment please!

Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang