Tak ada yang menyangka bahwa mencari makam ibu Adil, memakan waktu. Tapi yang pasti Lintang merasa dia telah berhasil mewujudkan salah satu keinginan Adil.
Sore itu mereka tiba di Jamshed Town ketika langit sudah menguning. Sesuai janji Lintang mengembalikan mobil Fahad, sahabatnya itu tidak banyak komentar, sebab mobilnya mulus tanpa lecet.
Tiba di apartemen, Lintang menjelaskan kepergiannya kepada Ayesha. "Aku ke Kemari town,"
"O," Ayesha yang merespons pendek.
"Aku pergi bareng Adil," tutur Lintang lanjut.
Ayesha sudah menduganya. Sebab hanya Lintang-lah yang bisa melakukan hal itu. Ayesha menekuri ubin di bawah kakinya. Ingin rasanya dia mengatakan, kalau dengan membawa Adil, kejutan yang telah dia rencanakan benar-benar gagal, bahkan harus membuatnya menginap satu malam di rumah Adil. Namun sedapatnya Ayesha menahan hasratnya. Mungkin saja, Lintang lebih punya motivasi membawa Adil daripada dirinya.
Ayesha sempat menyaksikan ekspresi bahagia yang ditunjukkan Lintang, sebelum sahabatnya itu masuk kamar.
Di kamar Lintang mengendus baju yang dikenakan, sepertinya memang sedikit bau. Sudah pasti ini akibat keringat yang hampir 24 jam lengket di pakaiannya. Apalagi ditambah siang tadi dia dan Adil seharian di Cape Mount. Wanita itu memutuskan mandi, menyegarkan tubuh dengan sabun wangi lili. Aroma ini bisa merileks pikiran.
Perut Lintang sedikit minta diisi ketika wanita itu sudah lengkap berpakaian lagi. Dia menuju dapur dan membuka kulkas. Lintang yang setengah membungkuk, mendadak mendelik isi rak ke dua. Dia melihat cake ukuran sedang di dalam. Wanita itu mengetuk-ngetuk ujung bibir sebelum melantangkan suara, "Ay, ini kue apa?"
Ayesha yang berada di ruang tengah, terkesiap. Lekas dia ke dapur. "Oh, itu aku beli tadi pagi," katanya bohong.
Wanita itu ikut melongok rak kulkas, memantau cake. Syukurlah, lilin angka sudah dia simpan bersama topi kerucut dan trompet di kamar. Apa jadinya jika Lintang melihat angka 24 di atas kue tersebut, pasti wanita itu akan banyak bertanya. Dan Ayesha sendiri belum siap memberikan jawaban. Kegagalannya memberikan kejutan, bukanlah cerita menarik untuk dikisahkan. Terlebih-lebih Lintang-lah orang yang menjegal (bisa dianggap begitu) kejutan yang telah disiapkan.
"Ini boleh dimakan kan?" tanya Lintang. Sebelum mendengar jawaban Ayesha, wanita itu mengeluarkan kue. Dia meletakkannya di mini bar dan mengambil pisau di rak. "Kau membelinya di toko biasa?"
"Ya, kebetulan lagi pengin," Ayesha berbohong lagi.
Lintang memotong kue menjadi beberapa bagian. Entahlah ketika pisau menggaris kue, ada rasa 'tak rela' di dalam dada Ayesha. Kue ini seharusnya ada di rumah Adil, bukan di apartemen ini. Lintang mengambil dua piring kecil dan meletakkan kue di atasnya. Dia memberikan satu piring ke Ayesha. "Oya, nanti malam kita makan apa?" tanya Lintang.
"Oh, aku belum punya ide."
"Bagaimana kalau chicken tandoori dan okra. Nanti aku yang masak. Sekalian mempratikkan keahlianku."
"Boleh."
***
Awal Maret—2 bulan lalu | Pameran buku di Bin Qasim Town
Sepulang kuliah Lintang dan Adil bareng mendatangi pamaren buku yang diadakan salah satu lembaga non pemerintah di pusat kota Bin Qasim Town. Gedung luas yang biasanya digunakan sebagai pementasan opera dan teater disulap menjadi surga buku dengan stan-stan menarik. Puluhan penerbit dari penjuru Pakistan turut berpartisipasi, meski pameran ini kalah meriah dari Karachi International Book Fair maupun Lahore International Book Fair.
Sejak menjejakkan kaki di ruang pameran, Lintang dan Adil sibuk berburu buku-buku manajemen. Mereka berdiri di salah satu stan penerbit ternama.
"Kau sudah mengerjakan makalah pribadi dari Profesor Tariq?" tanya Adil, dia memegang buku The Practice of Management milik Peter F. Drucker.
"Baru sebagian. Aku butuh beberapa referensi. Kalau kamu?"
"Alhamdulillah, sudah selesai."
"Good... good," ucap Lintang sambil angguk-angguk.
Usai memborong beberapa buku manajemen, mereka berpindah ke stan yang memajang buku-buku fiksi. Beberapa novel karya Zeenat Mahal menarik perhatian. Lintang mengambil novel The Contract yang sudah terbit beberapa tahun lalu.
Sementara itu Adil sibuk di pojok rak sebelah kiri. Sebuah buku dengan cover yang menampilkan wanita berumur mengenakan salwar kameez, merebut fokusnya. Pria itu meraih buku tersebut dan menyapu cover depannya. Judulnya Mother's Sacrifice. Adil membalik-balikkan novel itu.
"Setelah melihat buku ini, aku jadi kangen ibu." Adil mengangkat novel di tangannya setinggi dada.
Posisi Lintang yang berada di samping membuatnya mudah membaca judul buku di genggaman Adil. Barangkali benar, setiap orang bisa tersentuh meski hanya dengan melihat visual gambar, termasuk Adil yang mendadak melankolis lantaran cover novel. Tapi tunggu, tumben sekali Adil bicara soal ibu? Selama bersahabat dengan Adil, tidak satu kali pun pria jangkung ini menyinggung ibunya dalam pembicaraan mereka. Namun hari ini?
"Sudah lama aku tidak mengunjungi makam ibu. Sudah hampir sebelas tahun."
"Kenapa bisa selama itu?" Lintang heran dengan lamanya waktu.
"Ceritanya panjang, Lin." Adil menyapu judul buku dengan ujung jari. "Jika kuceritakan, mungkin kau tidak akan suka mendengarnya."
Lintang memilih tidak bertanya lagi.
"Aku berharap di ulang tahunku dua bulan lagi, aku bisa mengunjungi ibu di Kemari Town. Aku kangen padanya." Pria itu fokus lagi ke novel-novel di rak. "Aku ingat ketika kami melewatkan tahun-tahun menyenangkan bersama. Dulu saat aku masih sekolah dasar. Ibu sering mendongeng untukku sebelum tidur. Dialah orang pertama yang menyetujui cita-citaku sebagai pemain bola. Malah kami sering menghabiskan waktu di lapangan kompleks ketika ayah pergi kerja."
Lintang mendekap buku ke dada, kenangan yang diceritakan Adil sungguh manis.
.....bersambung ke Chapter Ten
Author Note:
-Chapter Nine sudah lengkap. Sampai ketemu di Chapter Ten. Dan setelah ini ada semacam kuis, minta partisipasi readers untuk tokoh baru yang akan muncul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)
General FictionSuatu masa, saat melupakan menjadi takdir yang tak kau sukai *** Adil tak pernah tahu, bahwa cinta akan menyapanya secepat itu. Tapi yang dia yakini, bahwa perempuan bernama Lintang bukanlah belahan jiwanya. Ayesha-lah wanita yang dia tunggu. Sa...