Canggung membungkus Ayesha sepanjang kembali ke Jamshed Town. Dia tidak berani memalingkan wajah pada Navid. Sementara di balik kendali setir, Navid tampak tenang, sesekali dia bersiul atau bernyanyi-nyanyi kecil mengikuti alunan dari audio mobil.
Ayesha sepenuhnya sadar hal yang dilakukan Navid adalah cara untuk meredam patah hati yang meremukkan semangatnya. Setelah ini Ayesha tak tahu, apakah lusa dia siap mengantar Navid ke bandara atau tidak.
***
Pagi-pagi sekali petugas pos menyambangi rumah Adil. Petugas menyerahkan sebuah amplop cokelat besar. Adil yang tak merasa pernah berkorespondensi dengan siapa pun, lalu mengernyit dahi. Dia membolak-balikkan map tersebut, lalu mendapatkan alamat pengirim. Central Jail Karachi! Surat dari penjara. Pasti ada hubungannya dengan ayah.
Adil membuka amplop setelah petugas pergi.
Pelan-pelan pria itu mengeluarkan isinya. Rupanya beberapa kertas yang distapler—lebih tepatnya sebuah surat dan beberapa lampiran. Kop surat bertuliskan humas penjara.
Saksama Adil membaca isinya.
Bagian awal surat menjelaskan dasar dikeluarkannya surat ini lengkap dengan nomor resmi. Lanjut, Adil menurunkan fokusnya pada inti surat. Matanya kemudian mendadak nanar, sebuah tulisan yang di-bold membuatnya kaget. Tulisan tersebut menerangkan kebebasan ayahnya. September bulan depan, minggu ke dua. Sungguh? Tak percaya Adil membaca sekali lagi. Ya, benar nama ayahnya—Najaf Mirza memang yang tertera di situ.
Adil membuang napas panjang. Ini seperti mimpi. Hari kebebasan itu akhirnya akan datang juga. Padahal rasanya masih banyak tahun yang harus dilewati ayah di balik jeruji. Amnesia yang dialami Adil memperpendek hukuman ayah—setidaknya yang dirasakan di kepala Adil saat ini. Memori pria itu lantas mundur perlahan, mengenang ayah dalam tahun-tahun lalu. Potongan-potongan perjalanan dari Saddar Town ke Gulshan Town demi menjenguk ayah, menjadi kenangan pertama yang mampir di kepalanya. Dulu ketika mendapat jatah libur akhir pekan dari pelatih, penjara selalu menjadi tujuan langkahnya sebelum pulang ke rumah. Meski hanya kurang dari sejam bersua ayah, namun hal tersebut membayar rasa kangen selama seminggu.
Kenangan-kenangan lain lantas muncul seperti efek domino. Tentang masakan ayah, nasihat ayah, pelukan ayah, kedatangan ayah ke markas Karachi. Segalanya.
Mata Adil berkaca-kaca, tak terasa. Pria itu tersenyum. Sebentar lagi beberapa kenangan yang bermain di kepalanya, tak sekadar dalam ingatan. September bulan depan, masakan, nasihat dan pelukan ayah akan menjadi hal yang selalu bisa dia dapatkan. Mungkin setiap hari.
Bagian akhir surat, pihak penjara meminta Adil mengurusi persyaratan pembebasan.
---
Kabar baik ini susah ditahan Adil sendirian. Di kamar pria itu langsung menghubungi Lintang. Dari sekian sahabatnya, wanita itu cukup layak menerima informasi ini duluan.
"Tumben telepon," suara Lintang terdengar di ujung telepon.
Adil yang sedang berada dekat jendela kamar memainkan sebelah tangannya di kosen. "Aku ingin memberitahukanmu sesuatu."
"Sesuatu apa?"
"Ayahku akan bebas sebulan lagi!" ujar Adil bersemangat.
"Benarkah?" suara Lintang melengking.
Adil mengangguk seolah Lintang melihatnya. "Aku baru saja menerima surat dari pihak penjara. Surat pemberitahuan pembebasan ayah."
"Alhamdulillah, aku senang mendengarnya."
Adil menyeka ujung hidung. Pria itu tampak berpikir sebentar. Setelah lima detik berlalu, pria itu mengutarakan, "Ada hal yang ingin kusampaikan lagi."
"Katakan saja."
"Aku ingin mengunjungi ayah lusa, sekaligus mengurusi persyaratan pembebasan," Adil menjeda sebentar. "Aku berharap kau mau ikut denganku." Kalimat terakhir dibuat Adil sedemikian rupa agar tidak terdengar memaksa.
"Tentu saja aku mau Adil," kata Lintang yakin. "Aku akan selalu di sampingmu. Aku juga kangen dengan Paman Najaf."
Adil berseri-seri mendengarnya. Dia tahu wanita ini akan selalu siap berada di dekatnya. Akh, seratus persen tidak keliru jika saat ini, Lintang menjadi magnet terkuat yang membuat hari-harinya bahagia. Semua perilaku dan repons wanita ini seolah memberikan sinyal suka padanya.
Selepas sambungan telepon mati, Adil mencoba menghubungi Fahad. Tanggapan karibnya itu juga sama, senang.
Sayang Fahad tidak bisa ikut ke Gulshan Town untuk menjenguk. Sohibnya itu beralasan kalau ada mata kuliah yang tidak bisa ditinggalkan. Nilai-nilainya semakin jelek, apa jadinya jika ayah tahu kalau dia bolos, mungkin mereka nanti akan perang kata-kata lagi di rumah.
***
.....bersambung ke Chapter Sixteen
Author Note:
-seperti sebelum-sebelumnya, maaf kalo lambat update. sampai ketemu di Chapter 16
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)
General FictionSuatu masa, saat melupakan menjadi takdir yang tak kau sukai *** Adil tak pernah tahu, bahwa cinta akan menyapanya secepat itu. Tapi yang dia yakini, bahwa perempuan bernama Lintang bukanlah belahan jiwanya. Ayesha-lah wanita yang dia tunggu. Sa...