Sudah pukul 3 pagi.
Sejumlah ulasan dari majalah olahraga tentang turnamen lokal hampir tamat Adil baca. Ternyata turnamen Pakistan National Championship 2019 akan bergulir satu bulan lagi. Nama-nama klub yang ikut berlaga masih tim-tim lama, seperti Multan Academy, Islamabad FC, dan Balochistan Rangers. Hanya ada satu klub baru, Chiniot United. Meski hanya sedikit informasi tentang Karachi FC yang Adil temui, tapi setidaknya dia bisa tahu sejauh mana perkembangan tim-tim Pakistan muda. Siapakah pemain-pemain yang kini mengisi skuat Karachi FC? Tentu wajah-wajah baru. Kawan-kawannya dulu mungkin sekarang sudah merumput di liga utama nasional atau malah ada yang jadi langganan tim nasional Pakistan dewasa dalam laga-laga internasional.
Adil melirik kaki kanannya. Apa jadinya jika empat tahun lalu insiden di final Pakistan National Championship 2015 tidak pernah terjadi—seperti yang diceritakan Fahad, mungkin dia telah menjadi pemain andalan sejumlah klub liga utama atau pemain nasional dewasa sekarang. Sayang, kadang kenyataan sering jauh dari harapan. Segalanya bisa terjadi tanpa bisa diprediksi. Adil sadar akan hal itu. Dan meratapi diri pada takdir yang merebut kakinya bukanlah sesuatu yang harus disesali terus-menerus.
Berita soal turnamen nasional, mengakhiri bacaan Adil di pagi buta. Pria itu meraih ponsel, dan menelurusi ikon pesan singkat. Dia memasukkan nomor Lintang, dan mulai mengetik pesan.
Thanks untuk majalahnya....
Setelah selesai menulis, Adil ragu mengirimkan pesan. Sepertinya kalimatnya tidak pas. Adil menghapus pesan tersebut.
Dia mengetik pesan baru.
Aku sudah membaca majalah yang kamu kasih. Beberapa artikel sangat menarik. Aku suka. Terima kasih sudah membelikan aku majalah olahraga.
Saat ujung jarinya hampir menekan send, pria itu tampak berpikir. Sepertinya kalimatnya terlalu panjang.
Pria itu menghapus seluruh karakter, lalu menulis lagi.
Kok kamu tahu sih aku sangat suka berita olahraga?
Ya jelas, Lintang tahu. Berteman dengan mantan atlet, sudah pasti perempuan itu bisa paham apa kesukaannya. Adil menghapus pesan untuk ke sekian kali, dan memutuskan mematikan layar ponselnya. Entahlah di pagi ini, untuk urusan mengirim pesan dia begitu labil. Adil membenarkan letak bantal, menarik selimut dan memutuskan tidur saat ini.
***
Pagi ini Fahad hilang mood ke kampus. Pria itu malah duduk di pagar balkon lantai dua, dengan kaki menjuntai ke bawah. Biarlah ayah akan meledak-ledak melihatnya tak berkemeja, memikul tas dan tak berangkat kuliah.
Sejak pulang dari Razi Road dua hari lalu, pertanyaan Adil dalam akhir percakapan mereka masih mengiang di kuping. Sahabatnya itu tak pernah tahu, bahwa Zarin telah terkubur meski masih ada sisa cinta dalam hati. Toh siapa pun, jika seseorang pernah menjadi bagian dari hidupnya, pasti tidak mudah terhapus dalam sanubari. Namun semua tentang Zarin adalah sebuah kisah yang telah usai seperti sebuah cerita yang tamat dalam halaman terakhir sebuah novel.
Dan kini Fahad yakin telah menemukan pengganti Zarin. Seperti sebuah kisah yang harus dimulai lagi, maka dia membutuhkan tokoh baru sebagai pasangan.
***
Bus terus bergerak, membelah jalan-jalan Jamshed Town. Ayesha memutuskan pulang duluan dari kampus.
Sepuluh menit lalu, e-mail ayah masuk lagi di ponselnya. Kali ini Ayesha bahkan hafal sekian baris kalimat yang ditulis ayah. Baris-baris itu bernada gembira.
Kau tahu Ay, kemarin dia datang membawa sekeranjang apel kesukaan ayah. Dia juga mengajak adikmu Khafid , bermain seharian. Ayah merasa dia adalah pria yang baik. Pria yang nantinya bisa membuat ayah dan ibumu tenang, jika suatu saat nanti kau tak lagi serumah dengan kami.
Tetap dalam e-mail tadi, ayah menyelipkan foto pria tersebut. Fotonya lebih kasual daripada gambar pertama yang ayah kirim. Dalam foto itu, pria tersebut hanya mengenakan kaus dan jeans. Tapi tetap saja kesan klimis masih ada. Ayesha mengenal pria ini, jauh sebelum ayah mengirim e-mail dan foto-foto beberapa minggu belakangan. Pria ini adalah anak dari teman Ayah yang berdarah Iran. Terlahir dari keluarga Persia membuat pria ini kelihatan istimewa secara fisik dan amat santun. Mereka terakhir bertemu beberapa tahun silam, saat teman ayah datang berkunjung ke rumah.
Sekali lagi, Ayesha membuka lampiran foto kiriman ayah. Wanita itu lekat memperhatikan foto tersebut, kenapa ini begitu dilematik?
.....bersambung ke Chapter Eleven
Author Note:
-Chapter ini pendek, hihihi.
-Besok rilis nama untuk tokoh baru, sekaligus pengumuman pemenang bagi readers yang sudah ikutan menentukan nama. Selamat menanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)
General FictionSuatu masa, saat melupakan menjadi takdir yang tak kau sukai *** Adil tak pernah tahu, bahwa cinta akan menyapanya secepat itu. Tapi yang dia yakini, bahwa perempuan bernama Lintang bukanlah belahan jiwanya. Ayesha-lah wanita yang dia tunggu. Sa...