Chapter Nine [A]

5.3K 303 119
                                    

Mentari naik perlahan memanjat langit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mentari naik perlahan memanjat langit. Keadaan alun-alun kota sudah cerah. Lalu lintas jalan mulai ramai, bunyi kendaraan terdengar di sana-sini.

Sejak setengah jam lalu Adil bangun dari lelap. Punggung bagian tulang ekornya pegal, barangkali pengaruh tidur dengan posisi duduk. Pria itu mencondongkan kepalanya dekat dasbor dan menengada kepala ke papan billboard. Adil berusaha mengingat-ingat lokasi makam ibu. Pria itu meremas batok kepala. Mengumpulkan memori sebelas tahun lalu, nyatanya bukanlah perkara mudah apalagi kala itu Adil masih amat belia saat mengunjungi makam ibu.

Posisi tubuh Adil tegak lagi. Pria itu memutar kepala 90 derajat ke jok belakang. Lintang masih pulas dalam tidur rupanya. Wanita itu pasti capek mengemudi, melewati rute yang panjang. Cukup lama Adil mempertahankan pandangannya pada tubuh Lintang yang meringkuk seperti janin dalam kandungan. Kulit wajah Lintang yang mulus dan bersih seakan menghipnotis Adil untuk setia mengarungi inci demi inci wajah perempuan itu. Seperti ada efek adiktif. Pria itu membalikkan badan kembali ke depan.

Tak berapa lama kemudian Lintang sadar. Wanita itu kaget karena hari sudah terang. "Adil, kenapa kau tidak membangunkan aku?"

"Aku tidak ingin mengganggu tidurmu," jawab Adil.

Setelah merapikan rambut Lintang keluar dari jok belakang dan siaga lagi di balik setir. Wanita itu sempat mengamati wajahnya yang kusut di spion depan. "Sepertinya kita harus cari makan dulu. Aku lapar."

"Itu ide bagus," Adil setuju. "Perutku sudah keroncongan sejak subuh tadi."

Lewat sedikit perdebatan akhirnya Lintang dan Adil sepakat mengisi perut di kedai cepat saji. Mereka memesan makanan besar, tanpa roti, selai atau keju. Dua porsi ayam goreng dan nasi hangat, plus dua cangkir kopi yang asapnya masih kepul. Adil tergelak saat Lintang bercerita kalau di Indonesia dia hanya bisa menikmati makanan seperti ini di awal bulan. Sebab dia harus berhemat. Baginya dulu ayam goreng sudah termasuk mewah untuk kantong anak sekolah menengah.

Mereka meninggalkan kedai cepat saji, satu jam kemudian.

Perjalanan mencari makam ibu dilanjutkan. Lintang tetap bertugas sebagai sopir, dan Adil masih sebagai penunjuk arah yang labil. Pria itu berusaha mengingat-ingat. Petunjuk pertama yang mendarat di kepala adalah dulu saat ke sini daerah yang dilewati adalah kawasan pesisir selatan Kemari Town. Informasi ini membuat Lintang tancap gas menuju daerah pesisir. Roda mobil melesat ke kawasan dekat Abdul Rehman Goth. Adil membuka jendela, melihat-lihat sekitar. Sepertinya ada sebagian bangunan yang melekat di ingatan. Radarnya langsung hidup begitu mobil melintasi Masjid Quba. Rasa-rasanya rute yang mereka ambil merupakan jalan yang benar.

"Lintang, sepertinya jalan ini rutenya. Soalnya aku ingat sekali masjid ini," tunjuk Adil. "Kita tinggal lurus dan belok sekali."

"Kau yakin?"

"Yakin, kali ini percaya padaku," Adil meyakinkan.

Lintang melajukan kendaraan sesuai instruksi. Pohon-pohon khas pesisir memenuhi sisi-sisi jalan, terutama pohon kelapa. Jalan-jalan juga tak selebar tadi.

Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang