Chapter Nineteen [A]

4.8K 83 36
                                    

Matahari sudah condong ke arah barat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matahari sudah condong ke arah barat.

Fahad masih terperangkap di mobil. Mesin mobil yang tadinya hidup, dimatikan kembali. Lima menit lalu dia baru saja melakukan deal atas pemakaian taman, tugas yang dimandatkan Adil padanya. Fahad menyandarkan kepala ke jok kursi, dia memandang kabur tulisan City Garden pada papan yang berada samping gerbang. Taman ini sebentar lagi akan penuh dengan kain hias, bunga dan ornamen-ornamen. Orang-orang nanti akan datang ke sini, lalu menyalami Adil dan Lintang yang bernjanji dalam simpul pertunangan.

Tiba-tiba Fahad merasa bodoh sendiri, tolol mengapa melakukan ini semua kepada Adil. Susah payah menjual nama ayahnya demi mendapatkan izin taman. Toh yang mendapatkan hati Lintang adalah Adil. Malah bukan soal taman saja, setelah ini dia harus bertemu pihak event organizer membahas konsep pertunangan.

Fahad lantas mengambil kertas lipat yang berada di dasbor. Kertas tersebut dominan biru. Banyak ukiran di halaman depannya. Untuk ukuran undangan, kertas ini tampak manis. Fahad meraba huruf timbul yang tercetak, huruf-huruf yang membentuk tulisan Engagement, Adil & Lintang. Perlahan Fahad merasa kapiler darah di sekitar jantung terasa menyempit. Sesak. Pria itu memegang dada. Haruskah dia merelakan semuanya? Ini tidak akan rumit jika dia tak pernah jatuh cinta kepada Lintang. Mendadak Fahad tak ingin melanjutkan perjalanan hari ini.

***

"Kenapa bisa?" lengkingan suara Adil terdengar.

Lintang yang baru saja meletakkan piring menu di meja pelanggan langsung membidik meja paling pojok. Di situ, Adil tengah serius bicara lewat panggilan telepon. Sebelah tangannya yang lain terlihat mencoret-coret entah apa di notes cokelat. Namun sejatinya Lintang tahu sejak tadi Adil sibuk mengecek segala persiapan hari pertunangan.

"Lho, bukannya di obrolan terakhir cincinnya sudah bisa diambil?" cecar Adil, masih dengan lengkingan.

Lintang memeluk nampan.

Adil tertegun setengah menit. Sepertinya jawaban di ujung telepon agak mengecewakan. Pria itu membuang napas panjang sembari meremas rambutnya. Sejurus kemudian dia kaget, jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul lima sore. Gesa Adil mengakhiri pembicaraan, "Ya sudah nanti aku hubungi lagi." Dia langsung membereskan alat tulis dan buru meraih kunci motor di dinding dekat meja kasir. Adil hanya memberikan kode ingin keluar kepada Lintang sebelum benar-benar menunggangi motor di parkiran.

Lintang melirik jam di dinding resto. Pukul 17.03. Adil memang punya janji dengan pihak event organizer di City Garden petang ini. Kemungkinan pacarnya itu ke sana, memantau persiapan yang ada.

---

Ini di luar dugaan, cincin yang harusnya sudah bisa diambil, nyatanya belum selesai dikerjakan. Tadi Adil menerima kabar tersebut. Menurut toko perhiasan—tempat Adil memesan, ada bagian-bagian yang harus dikikis ulang demi penyempurnaan. Sewaktu memesan Adil sengaja meminta sisi luar cincin dirancang mirip ukiran liontin ibu yang hilang. Setidaknya dengan begitu ada kenang-kenangan ibu yang diabadikan. Barangkali permintaan Adil inilah yang memaksa pihak toko melakukan penyempurnaan berkali-kali.

Motor Adil masih melaju. Tujuannya ke City Garden di pinggiran kota Jamshed. Tuan Maiz, pemilik event organizer sedang menunggunya. Meski di sana Fahad sudah mengawal, Adil merasa perlu mengetahui sejauh mana kinerja pihak EO.

Sampai di City Garden, Adil berdiri cukup lama di depan gerbang taman. Dia mengamati sejenak hasil dekorasi anak buah Tuan Maiz. Lumayan, batinnya. Setidaknya itu terbukti dari pagar-pagar taman yang sudah rapi oleh lilitan kain putih dan beberapa tumpukan melati yang disemat berjarak-jarak. Gerbang taman diberi dua tiang mirip gapura yang bagian atasnya melengkung. Seluruh tiang ini juga dibalut kain berwarna biru dan putih yang dipilin selang-seling. Adil bertengger sejenak di bawah gerbang, lampu-lampu kecil terlihat menjuntai dari atas.

Adil menurunkan pandangan. Fokusnya berganti pada isi taman. Di sana meja-meja sudah ditempatkan sesuai kapasitas tamu. Tak ada kursi sebagai teman. Adil memang mengusulkan konsep standing party agar para tamu mudah berinteraksi. Pilar-pilar besar juga didirikan di berbagai sudut. Kain-kain berwarna biru putih jadi penghubung antar pilar. Setengah kain merupakan hasil sulaman yang diberi benang emas sebagai aksen. Renda-rendanya tampak elok. Di bagian-bagian tertentu terdapat ukiran kayu khas Asia Selatan yang dicat putih. Pot-pot besar diletakkan di pojok-pojok sebagai pemanis. Sekilas konsep biru putih yang diinginkan Adil benar-benar terwujud.

Bagian utama tempat ikrar masih belum rapi. Pekerja-pekerja EO tengah sibuk menata bagian terpenting itu. Selain Tuan Maiz, di situ Adil bisa menemukan Fahad yang ikut memantau dari tiang berlampu. Sahabatnya itu benar-benar pahlawan dalam satu minggu terakhir, membantu apa pun yang diminta.

"Nanti mejanya dilapis plastik transparan," saran Adil kepada salah satu pekerja yang sedang menggeser meja.

Pekerja tersebut mengangguk.

Tuan Maiz menyadari kedatangan Adil. Beliau langsung menghampiri Adil, diikuti Fahad.

"Untuk bagian utamanya, masih kami perbaiki," papar Tuan Maiz. "Saya sengaja bikin agak lebar, biar para tamu bisa melihat pasangan nantinya."

Adil angguk-angguk.

"Tapi untuk ornamen lain, sengaja saya hilangkan. Biar kesan minimalisnya juga dapat," Tuan Maiz menunjuk titik-titik tertentu. "Kalau terlalu glamor, kesannya kayak resepsi pernikahan."

Tuan Maiz lalu mengantar Adil berkeliling. Beliau menjelaskan secara perinci konsep yang telah diterjemahkan menjadi dekorasi. Adil setia mendengarkan. Hampir semua yang telah dirancang, sangat disukainya. Hanya saja dia sempat memberikan masukan, agar tiang-tiang bagian utama tempat ikrar dirancang agak tinggi. Tuan Maiz mengamini. Sebagai penyedia jasa, beliau mengikuti segala kemauan klien.

Setelah Tuan Maiz kembali mengontrol anak buahnya, Adil teringat bahwa dia harus menghubungi pihak toko perhiasaan. Pembicaraan soal cincin tadi belum selesai. Adil merogoh ponsel di saku. Dia membuka kontak dan menelusuri abjad. Ketika hendak melakukan panggilan, tiba-tiba kepalanya pusing berat, seperti migrain. Spontan Adil memegang batok kepala sembari memejam mata. Tubuhnya sedikit oleng.

Karena nyaris roboh, refleks Fahad menopang tubuh Adil. "Kau kenapa?"

"Aku tak tahu," Adil mencoba tegak. "Tiba-tiba kepalaku sakit. Berkutik-kutik." Adil membuka matanya perlahan. Pandangannya agak buram sebelum melihat normal.

"Mau kuambilkan air?" tawar Fahad.

"Tidak perlu," tepis Adil.

"Mungkin kau terlalu capek," Fahad berkomentar.

Adil membuang napas lega setelah merasa kondisinya membaik. "Jelang pertunangan waktu tidurku berkurang. Terlalu banyak yang hal kusiapkan, mungkin ini imbasnya."

Fahad meremas-remas punggung Adil. "Setelah dari sini, kau istirahat dulu. Nanti biar ini, aku yang handle. Tuan Maiz juga terlihat sangat kooperatif."

"Thanks!"

***

.....bersambung ke Chapter Nineteen [B]

Author Note:
-Reader harap bersabar, Chapter berikutnya sedang aku susun untuk ....

Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang