Chapter Six [B]

5.5K 339 158
                                    

3 tahun lalu | Di kantor Biro Administrasi Fakultas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

3 tahun lalu | Di kantor Biro Administrasi Fakultas

Setelah mengular antre selama sepuluh menit, akhirnya Lintang sampai di depan loket administrasi fakultas. Wanita itu menyerahkan berkas aplikasi. Sebagai mahasiswa baru, dia harus melewati prosedur tersebut. Lintang lantas mendapat satu formulir dari petugas loket untuk keperluan pendataan fakultas.

Lintang menuju meja setinggi dada yang menempel di sisi dinding. Meja tersebut khusus digunakan mahasiswa untuk mencatat. Lintang mengeluarkan pena dan mulai mengisi formulir.

Baru menulis dua kata, perhatiannya teralih. Seorang pria dengan perawakan tinggi datang menyerobot barisan antrean. Dia menggeser tiga orang ke belakang. Beberapa wanita yang merasa posisinya direbut, memprotes.

"Maaf, saya buru-buru," ujar pria itu dengan tangan memohon.

"Buru-buru sih buru-buru. Tapi tahu aturan dong," seorang wanita mendengus geram.

"Tolonglah," kata pria itu lagi, kali ini dia mencoba memelas. Tapi raut mukanya tak sungguh-sungguh. "Soalnya setelah ini aku harus menjenguk saudaraku di rumah sakit."

Orang-orang yang tadi protes, luluh.

Lintang meneruskan coretan di kertas formulir.

Selang lima menit, pria jangkung tadi datang ke meja dan bersisian dengan Lintang. Pria tersebut meletakkan formulir. Sepintas Lintang bisa melihat tulisan 'Management' di kop formulir milik pria itu. Berarti mereka satu jurusan. Pria itu lalu merogoh sesuatu dari tas punggungnya. Beberapa kali. Tapi tampaknya apa yang dicari tidak berhasil ditemukan.

Lintang selesai menulis.

"Aku boleh pinjam penamu?" Pria itu bersuara. Dia sempat kaget, sebab wanita yang diajaknya bicara memiliki rupa muka yang jauh dari gadis-gadis Pakistan.

"Emm..., boleh!" sahut Lintang sembari menyerahkan pena.

Pria itu menerima dan segera mengisi formulir.

Lintang menunggu di samping.

"Mahasiswa luar negeri ya?" korek si pria tanpa canggung, tangannya masih sibuk mencatat. "Asalmu dari mana?"

"Indonesia," jawab Lintang pendek.

"Indonesia?" suara pria itu agak melengking. "Itu kan negara yang hijau! Aku beberapa kali menonton di channel National Geographic. Indonesia memiliki gunung, hutan, dan pulau-pulau yang indah!"

"Thanks!" Interaksi mereka sekian menit membuat Lintang heran, "Bukannya tadi kau buru-buru?"

Pria itu mengukir senyum. "Itu cuma alasanku saja. Sebenarnya aku malas mengantre."

"Berarti tadi kau berbohong!"

"Aduuuh, jangan keras-keras ngomongnya," panik pria itu sembari meletakkan telunjuk di bibir, isyarat agar Lintang tidak menyaringkan suara. Begitu Lintang paham, pria tersebut kembali melanjutkan tulis. "Oya, kita belum kenalan," ujarnya setelah menyelesaikan isian formulir. "Namaku—" Pria itu menyorongkan kertas formulir yang masih berada di meja. Dia menunjuk isian nama dalam kertas, disitu tertera 'Adil Meerza'.

Lintang bisa membacanya. Wanita itu lantas menunjuk nama di kertas formulir miliknya. "Itu namaku!" sebutnya.

Pria itu mengeja dalam hati rangkaian huruf yang membentuk dua kata: 'Lintang Angguni'. "Senang berkenalan denganmu!" Pria itu mengembalikan pena milik Lintang. "Terima kasih untuk penanya."

"Sama-sama!"

Adil lantas berancang-ancang meninggalkan meja, hendak menyerahkan formulir ke loket lain. Begitu meninggalkan meja dua langkah, pria itu membalikkan badan, "Oh iya harusnya kita berjabat tangan, karena itu lazim dalam perkenalan." Adil mengulurkan tangannya.

Lintang nyaris tertawa sebelum menyambut. Wanita itu menatap saksama wajah Adil. Pria ini memiliki hidung bangir khas pria-pria Pakistan. Bola matanya tajam, serasi dengan alisnya yang tebal dan tegas. Jika pria ini memelihara berewok mungkin kebaikan wajahnya akan naik dua kali lipat.

Adil kembali menggenjot langkah pergi usai jabat tangan selesai. Lintang mengamati punggung pria itu. Sesaat fokus matanya turun ke kedua tungkai kaki Adil. Kaki-kakinya bergerak tak seirama. Malang, pria menawan ini pincang!

.....bersambung ke Chapter Six [C]

Author Note:
-Chapter ini adalah lanjutan Chapter sebelumnya. Alurnya mundur.

-Saat edit Chapter ini semalam, gigiku lagi sakit. Makanya bikin ganggu dan rusak konsentrasi. Jadi sisanya aku edit tadi pagi.

Vomment please!

Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang