Chapter Eighteen [A]

4.2K 86 45
                                    

Dua minggu selanjutnya—September minggu kedua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua minggu selanjutnya—September minggu kedua.

Pada kenyataannya membohongi perasaan jauh lebih sulit daripada memendam cinta, setidaknya itulah yang dirasakan Lintang. Malam itu, Lintang tak kuasa ketika Adil mengujinya dengan pertanyaan tentang cinta. Meski berkeras hati tak mau bicara namun sikap diam dalam pelukan Adil malam itu sudah menjelaskan dia butuh Adil, mencintai pria itu, dan ingin bersama. Kini resmi empat belas hari, Lintang bergelar pacar Adil. Hujan dan dingin jadi saksi jalin ikat hubungan mereka.

Sesuai pemberitahuan dari pihak penjara, hari ini merupakan jadwal Paman Najaf menghirup udara bebas. Sebagai orang yang dipercaya, Lintang ikut Adil menjemput Paman Najaf. Di dalam bus menuju Gulshan Town, Lintang lebih banyak mengunci mulut. Wanita itu menyandarkan kepalanya di pangkal lengan Adil. Sebelah tangannya terlihat memeluk lengan pacarnya. Pandangannya lurus ke depan, melihat blur bangku di depannya.

"Sejak tadi kau diam," Adil fokus pada kepala Lintang. Dia lantas mencium rambut wanita itu. Wangi rosemary langsung menyeruak hidung. "Harusnya kau bahagia, hari ini ayah keluar penjara. Kita akan merayakannya di Aziz Bhati Park."

Lintang melepaskan kepalanya dari pangkal lengan Adil. "Aku hanya sedikit pening."

Adil memberikan botol air mineral yang sejak tadi digenggam pada Lintang. "Kalau begitu minum dulu."

Pria itu sebenarnya tak tahu, kalau saat ini isi kepala Lintang sedang memikirkan Ayesha di Peshawar. Bagaimana wanita itu sekarang? Apa yang sedang dia lakukan di sana? Memang esok hari setelah kejadian penembakan Adil, Ayesha kembali ke Peshawar. Lewat surat yang ditinggalkan di meja ruang tengah, wanita itu menjelaskan dia harus buru-buru pulang, alasannya surat penelitiannya sudah di-acc lembaga nonprofit. Demi kelancaran proyek Profesor Tariq dia mesti secepatnya bertemu pihak lembaga tersebut. Lintang sendiri kaget, sebab sebelumnya Ayesha tak pernah bilang lokasi penelitiannya di Peshawar. Lintang masih menyimpan surat milik Ayesha di laci meja.

Lintang meneguk minum. "Aku ingin masak enak nanti malam. Ayahmu suka masakan Punjabi juga kan?"

"Ayah bukan saja penikmat, beliau juga ahli memasak masakan Punjabi," ungkap Adil bangga. "Masakan Ayah tak kalah enak dari ibu. Pasca bercerai, Ayah menjadi chef tunggal di dapur. Beliau yang mengajariku masak."

"Kau membuatku takut," Lintang menatap Adil. "Semoga apa yang telah kupelajari dari Ayesha, bisa kupraktikan dengan baik."

---

Berbeda dengan kunjungan-kunjungan sebelumnya, kali ini Adil dan Lintang tak menemui ayah di ruang besuk. Keduanya akan bertemu ayah di ruang kepala sipir. Adil yang dari tadi mondar-mandir menunjukkan ketidaksabaran. Lintang di sebelahnya menenangkan.

"Aku tahu apa yang kau rasakan," kepala sipir berkomentar. Hampir setiap hari berhadapan dengan keluarga napi membuatnya paham psikologis Adil. "Ayahmu sedang menuju kemari."

Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang