Chapter Nineteen [C]

5K 89 48
                                    

Fahad enggan melonggarkan cengkeramannya dari pergelangan tangan Lintang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Fahad enggan melonggarkan cengkeramannya dari pergelangan tangan Lintang. Dia terus memompa langkah hingga ke parkiran. Lintang yang setengah menunduk, pasrah mengikuti langkah Fahad. Lagi pula sekukuh apa pun dia bertahan di taman, Adil pasti tetap tak ingin mendengar penjelasannya.

Fahad membuka pintu mobil dan menyilakan Lintang masuk. Dia turut masuk lewat pintu lain.

Usai merebahkan bokong di jok, Lintang langsung menyandarkan kepala di jendela. Butir-butir air masih menyisa di ujung mata.

Jika suatu saat ingatanku kembali. Aku akan tetap mencintaimu—omongan Adil di Pantai Hawke's Bay mengiang di kepala. Lintang lalu berkedip sekali, air matanya mengalir perlahan. Omongan Adil tak terbukti. Andai waktu itu dia terus menolak Adil dan berterus terang soal Ayesha, mungkin kemarahan Adil tak pernah terjadi. Menjadi orang yang tertuduh seperti tadi amatlah menyakitkan.

Setengah perjalanan Fahad membuka obrolan, "Terlalu larut dalam sedih, hanya akan membuatmu semakin jatuh."

"Aku tak bisa melakukan apa-apa selain menangis, Fahad. Akulah orang yang bertanggung jawab dengan semua hal yang menimpa Adil."

"Menyalahkan diri sendiri itu hanya memperburuk keadaan." Fahad menurunkan kecepatan mobil. "Selama di rumah sakit kau, kita sudah menjaganya. Setelah dia siuman kau bahkan menjadi orang selalu ada buat dia. Membawanya ke mana saja..., menyusuri masa lalunya.... Bagiku itu sudah cukup membayar segalanya. Harusnya Adil berterima kasih padamu."

Lintang menarik ingus.

Sementara Fahad fokus lagi ke setir.

Beberapa saat yang terdengar hanyalah deru mesin.

Satu menit berikutnya, Fahad buka suara lagi. "Kau mau kuantar ke apartemen?"

"Tidak," jawab Lintang. "Tolong bawa aku ke mana saja, ke tempat yang bisa membuatku melupakan kejadian tadi."

---

Adil terduduk di sudut pagar dekat gerbang taman. Sebelah kakinya tertekuk, sebelah lagi selonjor. Kini dia tak peduli dengan tamu-tamu yang memandangnya iba. Beberapa orang yang merasa bahwa pertunangan ini kacau, memilih pulang. Satu per satu. Mereka enggan menegur Adil yang berada di sudut pagar.

Meski menatap ke depan, pandangan Adil sejatinya kosong. Pikirannya melayang pada Ayesha. Sedang apa wanita itu di Peshawar, apakah dia masih menyimpan liontin pemberiannya di Hill Park? Apakah wanita itu sedang menunggunya juga? Adil kemudian teringat kepergiannya ke perpustakaan di mana tiba-tiba dia melihat Ayesha dalam ingatannya. Lalu sosok Ayesha juga hadir dalam memori ketika Lintang meletakkan es krim di pipinya. Penjelasan Pak Sattar soal kedekatannya dengan Ayesha dan foto-foto Ayesha yang ditemukan di kamar, jadi rangkaian ingatan yang muncul kemudian.

Detik ini Adil merasa bodoh, mengapa selama ini dia tak bertanya dalam diri—atau setidaknya curiga, mengapa masa lalunya lebih condong pada Ayesha.

Sementara itu, para tamu undangan tak bersisa lagi di taman. Hanya tinggal orang-orang dari event organizer yang sedang berdiskusi, mereka tentu membicarakan soal kekacauan yang terjadi. Beberapa di antaranya tampak merapikan meja.

Adil bangkit perlahan. Dengan gerakan lemah pria itu meninggalkan pagar. Dia harus pulang.

Entah penjelasan apa yang harus dia berikan pada Ayah, nanti.

---

Ayah masih terperangkap di sofa. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul delapan malam. Adil belum juga kembali. Ayah menatap ponsel sekali lagi, berharap ada panggilan masuk atau pesan singkat yang mampir.

Tak lama derit pintu terdengar, Ayah serta-merta bangun dari sofa. Sepertinya itu Adil.

Benar itu memang Adil. Anaknya itu muncul dari ruang depan. Wajahnya lesu. Rambutnya kusut. Sherwani-nya agak berantakan.

"Kau dari mana saja?" todong Ayah gesa. "Ayo kita pergi, ini sudah terlambat."

Adil mengangkat tangan, menyetop langkah Ayah. "Malam ini tak ada pertunangan. Adil sudah membatalkannya."

Ayah mengerutkan dahi. "Ada sesuatu yang terjadi?"

"Lintang sudah membohongi Adil."

"Berbohong? Kau yakin?" Ayah mengintai wajah Adil. Sekian detik berikutnya beliau membuka layar ponsel. "Biar Ayah telepon Lintang. Setiap kesalahpahaman harus dibicarakan baik-baik."

"Tidak perlu, Yah."

"Lha, kalau tidak telepon, bagaimana Ayah bisa tahu masalahnya?"

"Yang terjadi terlalu rumit, Yah," suara Adil terdengar pasrah. "Ini soal kepercayaan, soal orang yang Adil tunggu, soal masa lalu Adil. Dan ini soal ingatan Adil!"

"Ingatan?" Bola mata Ayah bergerak kiri kanan seolah mencari sesuatu di raut muka Adil. "Pembatalan ini berhubungan dengan amnesia yang menimpamu?"

Seketika kepala Adil terangkat beberapa senti. Dia menjadi nanar, mulutnya setengah terbuka. Dari mana Ayah tahu penyakit yang dialaminya?

"Oke, kita kesampingkan masalah dari mana Ayah tahu kau mengalami amnesia. Sekarang beri penjelasan pada Ayah sedetail-detailnya, mengapa kau merasa Lintang membohongimu. Ayah perlu tahu itu."

"Adil rasa saat ini bukan waktu yang tepat untuk membahas ini," Adil berpendapat. Menjelaskan hal yang sudah rumit tentunya tak semudah bertutur. Dia perlu banyak mengatur kata, dan menyiapkan diri. "Lagi pula Adil capek seharian. Adil ingin istirahat." Sepertinya menghindar adalah pilihan paling baik saat ini. Tanpa peduli apa yang dipikirkan Ayah, Adil memilih meninggalkan ruang tengah.

Ayah tampaknya tidak berusaha menahannya.

---

Demi mengubah mood, akhirnya Fahad membawa Lintang ke Port Grand. Port Grand sendiri merupakan area rekreasi yang berdiri di atas jembatan Native Jetty sepanjang satu kilometer. Lokasinya tepat di tepi pantai. Ada beberapa restoran yang berdiri di sini. Warga Karachi kerap kali menjadikan lokasi ini sebagai destinasi akhir pekan.

Lampu-lampu yang menerangi jembatan berpendar indah.

Fahad dan Lintang kini berada di pembatas jembatan. Posisi mereka membelakangi salah satu restoran. Mereka kompak melihat refleksi cahaya lampu yang berenang di permukaan air.

"Ini salah satu tempat favoritku membuang penat," Fahad mengawali obrolan. "Semoga ini bisa membuatmu lebih baik."

"Thanks."

"Kau tahu, hidup ini tak selalu mulus. Kita akan melewatkan banyak hal, yang tak terduga, yang tak kita sukai, bahkan yang tak pernah kita pikir. Namun manusia harus tetap siap dengan kejutan apa pun dalam hidupnya bukan?"

"Kurasa aku harus merelakan semuanya."

Fahad merapatkan jarak dengan Lintang. "Jadi setelah ini apa rencanamu."

"Aku tak tahu," Lintang menjeda. "Saat ini yang kuinginkan hanyalah, menenangkan diri."

***

.....bersambung ke Chapter Twenty

Author Note:
-Aku menulis Part ini dengan kondisi badan yang tak fit. Sekarang bahkan saat aku nge-post tulisan ini, aku masih demam dan pilek, batuk-batuk terus. Aku langsung teringat dulu awal waktu membuat tulisan Amnesia ini, aku juga mengalami hal serupa, bahkan dulu awal Chapter 1 sampai 3, sakitku lumayan parah. Kenapa momennya bisa pas kek gini yak?
-Eh, iya sampai ketemu di bab terakhir, Chapter 20. Rencananya Chapter 20, akan aku update sekaligus, biar bacanya tak patah-patah. See you, readers!

Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang