Chapter Sixteen [D]

4.5K 79 2
                                    

Kepingan Memori (2)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kepingan Memori (2)

Tiga hari sebelum kecelakaan di Hill Park–pertengahan Maret

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiga hari sebelum kecelakaan di Hill Park–pertengahan Maret.

Sepertinya cuaca sedang menunjukkan ketidaksabaran menanti musim panas. Padahal dua hari ini hujan masih terus mengguyur Jamshed Town. Adil sendiri bersyukur cuaca bisa ramah malam ini. Langit cerah, tanpa awan. Kerlip bintang semarak rupa. Jalan-jalan kering. Alam sedang berkonspirasi mendukung rencananya malam ini. Diakui untuk datang kemari, pria itu harus mengitari mal membeli kemeja dan sepatu keluaran terbaru, tadi siang. Dipadu dengan jeans pas badan, pria itu dandan necis. Penampilannya jadi perfect setelah membubuhi wangi fougere di bagian-bagian tubuh.

Adil tiba di area masuk Hill Park, sebelum wanita yang ditunggunya datang sepuluh menit berikutnya. Wanita itu hadir seperti biasanya, mengenakan hijab polos dan baju panjang yang dilapis jaket–kemungkinan dia mengira bakal dingin atau turun hujan, sehingga butuh bahan tebal menghangatkan tubuh. Wanita tersebut adalah Ayesha.

Ayesha sedikit curiga sewaktu mereka mulai beriringan jalan. "Serapi ini, aku merasa kau bukan Adil yang kukenal."

"Kau ingin mengatakan aku menawan?" Adil membalas dengan berkelakar. "Atau tampan? Aku tak keberatan jika kau ingin mengatakan itu."

"Akhir-akhir ini selera humormu bagus."

"Aku bahkan bisa membuatmu tertawa seharian."

Ayesha geleng-geleng. "Aku tak yakin kau bisa. Gayamu yang selalu serius di depan buku, jauh dari kesan pelawak."

"Aku akan berusaha untuk itu. Kau harus yakin padaku," ucap Adil sok.

Jujur malam ini Ayesha menemukan sosok Adil yang lebih santai. Dalam percakapan-percakapan tadi pun Adil sedikit mencoba membuat suasana enak. Mereka lalu menjangkau sebuah kedai es yang berada sejajar dengan counter-counter makanan lain. Area tempat makan ini memang menghadap Hill Park.

Pengunjung ramai memenuhi setiap counter makanan. Bisa dipastikan yang dominan pengunjung adalah pasangan muda-mudi. Mereka duduk di kursi yang disediakan tanpa meja. Anak-anak juga berada di sekitar.

Adil dan Ayesha maju ke meja utama counter dan memesan es krim. Sama-sama mereka memesan rasa cokelat dengan ukuran sedang. Keduanya lalu menempati dua kursi yang tepat berada di bawah bohlam pijar yang benderang. Tiangnya dililit lampu-lampu kecil warna-warni. Suasananya nyaman.

"Kau mau main tebak-tebakan?" Adil menawar saat mereka sudah melahap setengah puncak es krim.

"Boleh," sambut Ayesha.

"Kau mau menjadi pemberi pertanyaan atau yang menjawab?"

"Aku yang jawab saja," Ayesha merasa cukup pintar.

"Tapi ada konsekuensinya, kalau misalnya kau bisa menjawab, kau boleh mencoret wajahku dengan es krim ini. Sebaliknya aku akan mencoret mukamu kalau kau tidak bisa menjawab." Adil memberi tahu rule. "Bagaimana?"

"Oke, siapa takut!"

Adil memulai. "Kenapa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya?"

Ayesha mengernyit kening. Pertanyaannya aneh! Wanita itu menggeleng.

"Karena kalau berada di tempat lain, berarti itu sudah dicuri orang," jawab Adil sambil tertawa. Dia mengintai ekspresi Ayesha yang berubah cemberut. Sesuai peraturan, Adil mencoret Ayesha dengan es krim yang sudah dicolek seujung jari. "Tebakan kedua. Kenapa, kodok jalannya loncat-loncat?"

"Oh, Adil bisakah pertanyaanmu lebih sedikit ilmiah?" Ayesha protes.

"Namanya juga tebak-tebakan Ay! Kau tidak tahu jawabannya?" Setelah Ayesha pusing mencari jawaban, Adil membocorkan. "Karena kalau jingkrak-jingkrak atau putar-putar, itu berarti kodoknya sedang nari."

Seketika Ayesha senyum-senyum. Dia merasa jawaban ini, menggelitik. Sayangnya dia harus menerima wajahnya dicoret lagi.

"Tebakan ketiga. Mungkin kau sudah tahu jawabannya. Mengapa anak babi jalannya nunduk."

"Astaga Adil jangan bilang nanti jawabannya bikin aku ngakak setengah mati." Ayesha menikmati es krim sejenak.

"Kenapa anak babi jalannya nunduk? Soalnya dia malu orang tuanya babi."

Spontan Ayesha meledak tawa. Kali ini sungguh jawaban Adil super lucu. Bahkan bahunya sampai terguncang-guncang. Tapi tawanya tersebut tak berlangsung lama, sebab kembali Adil mencoret wajahnya. Dengan masam wanita itu harus menerima mukanya dipenuhi es krim. Apalagi sekarang Adil seolah menunjukkan kemenangannya, hal itu membuat Ayesha memutar otak untuk membalas.

"Aku ada sesuatu, untuk kamu," Ayesha memasang raut licik.

"Apa itu."

"Tunggu ya." Ayesha mulai berancang-ancang. Wanita itu mencengkeram es krim di pegangan kuat-kuat. Dengan geram Ayesha menempelkan benda dingin tersebut sekaligus, ke pipi Adil.

Sontak Adil berteriak kencang, "Auuuuu!" Wajahanya seperti disiram air es.

Ayesha tertawa terpingkal-pingkal, sebab kini Adil tampak bego. Wanita itu memang ingin pria di sampingnya merasakan sensasi dingin seperti dirinya.

Adil lalu diam sejenak. Dia mengamati Ayesha saksama. Menyaksikan bagaimana paduan paras Arabic India tersebut merekah. Tawanya membentuk garis-garis senyum yang manis. Dagunya terlihat lancip sempurna. Dan matanya menjadi lebih pipih. Semuanya natural.

Sadar jadi pusat indra penglihatan Adil, Ayesha berhenti mengekeh. "Kau memperhatikan aku?"

"Ya."

Ayesha risih. "Ada yang aneh padaku?"

"Tidak. Kau hanya terlihat cantik saat tertawa lepas."

Mendadak Ayesha seperti tersengat listrik, dan bengong sekejap. Untuk pertama kali dia mendengar Adil memujinya seperti ini. Benarkah?

***

.....bersambung ke Chapter Seventeen

Author Note:
-Chapter ini adalah penjelasan tentang ingatan Adil saat dia bareng Lintang makan es krim. Teman-teman kalau bingung silakan baca lagi Chapter Sixteen [A]. Dan peristiwa dalam memori ini terjadi 3 hari sebelum kecelakaan yang menimpa Adil.
-Sampai ketemu di Chapter 17

Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang