Chapter Seven [A]

5.4K 324 82
                                    

Sedari tadi Lintang bertahan di kamar, dia sengaja melakukannya agar Ayesha tidak mengajaknya bareng ke kampus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sedari tadi Lintang bertahan di kamar, dia sengaja melakukannya agar Ayesha tidak mengajaknya bareng ke kampus.

Beberapa kali dia mengintip dari lubang pintu, memastikan keberadaan Ayesha. Sahabatnya itu masih berada di apartemen. Lintang mondar-mandir sambil menjawil-jawil bibir dengan ujung telunjuknya, sampai berapa menit lagi dia harus menunggu Ayesha berangkat? Padahal sudah setengah jam yang lalu dia mengenakan pakaian lengkap, kemeja lengan panjang berwarna biru dan rok hitam lebar sampai ke mata kaki. Wajahnya bahkan sudah disapu make up berulang kali tadi.

Kembali Lintang mengintip dari lubang pintu. Tepat di meja ruang tengah, Ayesha sedang memasukkan buku-buku ke dalam tas. Sumpah, dia tak sabar melihat Ayesha hilang dari apartemen.

"Lin, sudah siap?" Ayesha separuh berteriak. "Barengan ke kampus kan ya?"

Lintang terkesiap. "Emm—" Wanita itu perlahan memegang handle pintu. "Kamu duluan. Aku sedang membereskan barang-barangku," Lintang beralasan.

"Kalau begitu aku tunggu."

"Tidak usah. Sepertinya akan lama," sebut Lintang lagi.

"Barang-barang apa sih?" Ayesha kurang percaya.

"Buku, pena, paper, diktat," sebut Lintang ragu-ragu karena yakin alasan itu kurang masuk akal. "Dan ini laptopku lagi bermasalah. Aku restart dulu, soalnya ada beberapa data yang lelet dibuka," Lintang menyebutkan alibi yang lebih tepat.

"Kalau begitu sampai ketemu di kampus."

Lintang mengintip lagi dari lubang pintu. Benar, Ayesha sudah beralih dari meja dan bersiap keluar. Wanita itu mengembus napas lega. Cepat-cepat dia menuju cermin, memastikan dandanan dan polesan make up di wajah. Masih sempurna!

Lintang menarik tas jinjing ukuran kamus di atas meja dan beranjak dari kamar. Segera dia mengunci pintu apartemen dan turun ke lantai dasar. Pagi ini Lintang bermaksud ke Razi Road menemui Adil. Niat ini pertama kali muncul empat hari lalu usai makan malam di taman belakang rumah Adil. Beberapa kali memang keinginan ini ingin segera dia laksanakan, namun keberanian Lintang selalu turun naik. Butuh sekian hari memantapkan diri, sebelum mengumpulkan tekad berkunjung pagi ini.

Taksi yang ditumpangi Lintang melesat menuju rumah Adil. Di luar cuaca cerah, hanya ada sedikit awan yang mengepul di angkasa, selebihnya terang langit biru hampir di seluruh Jamshed Town. Akhir April seperti ini, cuaca selalu jadi hal yang paling disyukuri penduduk Karachi. Hangat. Apalagi sebulan lalu mereka masih disandera musim dingin yang kadang membuat siapa saja malas keluar rumah.

Lekas, hanya butuh sekian menit saja taksi berhenti di depan rumah bernomor 9A.

Lintang turun dari taksi dengan sedikit deg-degan. Wanita itu bahkan meremas-remas tangan sepanjang menuju teras rumah Adil. Pintu yang terbuka membuatnya langsung masuk ke dalam.

Wanita itu mendapati Adil tengah sibuk merapikan majalah olahraga di bawah rak televisi.

Adil menyadari kedatangan Lintang. Pria itu menoleh dalam keadaan jongkok.

"Pagi," sapa Lintang kikuk. "Maaf, berkunjung sepagi ini."

Adil melirik jam di dinding rumah. Pukul 08.03. Waktu ini normal untuk bertamu. Pria itu lantas berdiri. Sekilas Adil menatap Lintang teliti. Wanita di hadapannya ini amat rapi dengan setelan yang dikenakan. "Aku hanya membereskan majalah-majalah," ujar Adil kemudian. "Kamu...," Adil ragu bertanya, telunjuknya bergerak-gerak.

"Aku datang sendirian!" jawab Lintang seolah dapat memahami bahasa tubuh Adil.

"Oh," ujar Adil pendek. "Kamu sudah sarapan?"

"Sudah," sahut Lintang. "Emm, sebenarnya aku ke sini karena ingin mengajak kamu," beber Lintang akhirnya.

"Mengajakku? Ke mana?"

"Gulshan Town. Menjenguk ayahmu!"

Kening Adil berkerut. "Kau tahu ayahku di penjara?" tanya Adil. Memang Fahad belum cerita kepada Adil kalau kawan-kawannya juga mengetahui keadaan ayahnya. Berstatus kriminal apalagi telah menghilangkan nyawa orang lain membuat Adil hati-hati menceritakan siapa ayahnya.

"Bukan saja, aku. Ayesha juga tahu. Bahkan kita sering mengunjungi ayahmu," ungkap Lintang. "Ayo, ganti baju. Kita bergegas." Lintang memonitor celana pendek yang dikenakan Adil. Itu tidak cocok untuk perjalanan mereka.

Sejujurnya ada alasan lain, sekadar menjenguk ayah Adil yang memaksa Lintang harus pagi-pagi ke sini. Dia merasa bertanggung jawab atas air mata ayah Adil yang menetes bulan lalu. Dialah orang yang membocorkan kecelakaan Adil kepada Paman Najaf, bahkan kunjungannya itu sempat menghasilkan cekcok kecil dengan Ayesha. Saat ini dia hanya ingin menebusnya dengan menghadiahi Paman Najaf, kesembuhan Adil. Alasan ini juga yang memaksanya tadi membohongi Ayesha. Mungkin sahabatnya itu akan melarang jika dia mengutarakan ide membawa Adil ke Gulshan Town.

Adil menurut apa yang dipinta Lintang, lagi pula dia rindu ayah. Bagaimanakah kondisi laki-laki yang paling dia cintai itu sekarang? Lebih kurus atau gemuk? Sehat atau sedang flu misalnya, atau..., ayah juga sedang menahan rindu padanya. Lima tahun pasti banyak membawa perubahan.

.....bersambung ke Chapter Seven [B]

Author Note:
-Chapter ini panjang, aku bagi-bagi dalam beberapa part.
-Kemarin malam saat menulis Chapter ini, sakit gigiku kambuh. Makanya butuh perjuangan untuk menyelesaikan Chapter Seven. Hahahaha. Authornya sakit melulu.

Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang