"Ini minum dulu," Ayesha menyerahkan segelas teh jahe kepada Lintang.
Sejak pulang dari Saddar Town, Lintang diserang bersin. Tentu ini lantaran faktor bermain di bawah hujan dan terbungkus dingin berjam-jam bersama Adil. Pertahanannya tak sekuat pria itu, sehingga dia perlu istirahat di rumah selama tiga hari.
"Thanks," ucap Lintang.
"Di Peshawar jika ada yang pilek, ibu sering menyuguhkan teh jahe," cerita Ayesha. "Teh ini bagus untuk membuat tubuh hangat sekaligus membantu meredakan pilek."
"Keadaanku sudah semakin baik kok. Tak perlu khawatir," Lintang menenangkan. Memang pilek yang diderita Lintang termasuk ringan. Belum sampai tahap flu. Dia juga tidak demam maupun sakit kepala. Hanya saja belakangan ini, dia harus selalu menyediakan tisu atau sapu tangan jika ke mana-mana. Dua hari lalu, Adil sempat mengirimkan beberapa obat pereda pilek dan vitamin ke apartemen setelah tahu dirinya sakit. Karena terlalu banyak, Lintang hanya minum satu jenis obat saja. Terlalu seram jika konsumsi semua padahal penyakitnya ringan.
Begitu menjelaskan kalau dia tidak minum semua obat, pesan singkat Adil langsung bejibun di kotak masuk.
Katanya, kenapa tidak minum semua? Nanti kapan sembuhnya?
Atau sms kemarin pagi, tapi kamu tetap minum vitamin yang kukirim kan?
Dan yang paling baru lima belas menit yang lalu, kondisimu sekarang bagaimana? Apa aku kirim lagi vitamin?
Lintang geleng-geleng, perhatian Adil agak terlalu. Lintang yakin seratus persen tak ada yang parah dengannya. Hampir saja dia mengatakan kalau dia sudah berhenti minum obat hari ini, namun dia urung membalas, sebab jika dia jujur, maka Adil akan berisik lagi lewat pesan-pesannya.
"Kalau begitu aku tinggal," Ayesha pamit usai memastikan Lintang menghabiskan teh jahe buatannya.
Keluar dari kamar Lintang, Ayesha bersiap istirahat. Hari sudah pukul 22.35 malam. Udara di kamarnya dingin. Ayesha menaikkan suhu lewat remote AC. Wanita itu menuju meja, hendak merapikan buku-buku yang sempat menemaninya mengerjakan tugas kuliah satu jam lalu. Saat memegang buku pertama, perhatiannya teralih ke layar laptop yang masih menyala.
Inbox surel tampak di layar.
Ayesha batal merapikan buku, dia menarik kursi dan membuka pesan masuk. Lagi-lagi mampir pesan ayah. Mungkin pesan ini masuk saat dia mengantar teh jahe kepada Lintang tadi. Ayesha mulai membaca.
Selamat malam Ay...
Tampaknya ini sudah terlalu larut untuk ayah mengirimimu e-mail. Tapi mudah-mudahan kau tak bosan dengan pesan-pesan ayah yang sering hadir mirip iklan internet. Harusnya ayah bisa saja meneleponmu saat ini, namun ayah rasa, kadang kita butuh kata-kata untuk mengungkapkan sesuatu.
Oya, mudah-mudahan kuliahmu lancar. Ayah, ibumu dan Khafid berharap demikian. Kami kangen kamu. Kangen kue yang sering kau bawa dari Karachi sebagai oleh-oleh setiap pulang ke Peshawar.
Kamu tahu Ay, tadi Navid datang lagi ke rumah. Dia tidak sendirian, dia datang bareng Paman Seyyed, mereka membawa suvenir khas Iran. Aku dan ayahnya bermain catur selama dua jam sebelum kita makan malam, sementara Navid mengajak Khafid bermain game. Dia juga membantu Khafid mengerjakan tugas sekolah. Ayah pikir Navid semakin suka dengan adikmu.
Tadi mendadak, Navid meminta izin ke ayah untuk pergi ke Karachi. Ayah sebetulnya kaget. Namun ayah kira kepergiannya ke Jamshed Town, bagus untuk hubungan kalian. Mudah-mudahan kau bisa menjadi penyambut yang baik untuknya.
Sepertinya Ayah sudah banyak bercerita sejak tadi. Ayah sekarang ngantuk. Ingin tidur.
Selamat malam, Ay.
Ayahmu yang tersayang.
Ayesha menutup aplikasi pesan elektronik. Wanita itu menatap layar laptop tanpa fokus pasti. Pria Persia bernama Navid—yang beberapa kali menyambangi rumahnya di Peshawar akan datang ke Jamshed Town. Ayesha tercenung sesaat, dia kurang yakin bisa menjadi penyambut yang layak bagi Navid.
Ayesha mematikan laptop dan lanjut membereskan buku-buku yang tadi tertunda. Wanita itu naik ke ranjang dan merebah. Sebelum benar-benar menarik selimut, dia mengecek ponsel yang berada di samping bantal. Ada dua tanda pesan masuk di layar. Dari nomor yang tak dikenal. Ayesha memeriksa isinya.
Hai Ayesha. Apa kabar?
Ayesha menjawil-jawil bibir. Dia membuka pesan selanjutnya. Masih dari nomor yang sama, ini aku Navid.
Navid? Ayesha menyeka-nyeka layar ponsel dengan ujung jempol. Ya, ini benar pria itu! Selang sekian detik, wanita itu meletakkan ponselnya kembali, dan memilih untuk mengakhiri malam di ranjang.
.....bersambung ke Chapter Twelve
Author Note:
-Chapter ini secuil aja yaaa. Karena emang sedikit. Sampai ketemu dengan tokoh Navid yang akan muncul di chapter selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)
General FictionSuatu masa, saat melupakan menjadi takdir yang tak kau sukai *** Adil tak pernah tahu, bahwa cinta akan menyapanya secepat itu. Tapi yang dia yakini, bahwa perempuan bernama Lintang bukanlah belahan jiwanya. Ayesha-lah wanita yang dia tunggu. Sa...