Chapter Eighteen [C]

4.7K 84 27
                                    

Menutupi masalah serius membuat Adil pusing sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menutupi masalah serius membuat Adil pusing sendiri. Dia harus menyiapkan banyak bekal pengalihan omongan atau kebohongan-kebohongan kecil jika Ayah bertanya soal kejadian lima tahun terakhir. Kemarin Ayah bertanya soal kampusnya, pria itu tak bisa menjawab apa pun selain pengajuan cuti. Ayah bertanya tentang perjalanan Karachi FC selama beberapa tahun terakhir, Adil hanya mampu menjelaskan turnamen terakhir yang baru dimenangkan Karachi. Pria itu juga gagap menjelaskan pada Ayah awal perkenalannya dengan Lintang saat Ayah ingin mencari tahu lebih banyak soal calon menantu.

"Aku takut jika pertanyaan Ayah akan banyak lagi," keluh Adil di telepon suatu kali. Dia menceritakan kesahnya pada Lintang. "Sebulan ini aku sudah banyak berbohong."

"Kau ingin menjelaskan keadaanmu pada Ayah?"

"Amnesia gangguan ingatan serius. Ayah baru saja bebas, aku takut merusak kebahagiannya dengan kenyataan yang menimpaku. Aku butuh waktu."

"...."

"Konsekuensinya aku harus menyiapkan segudang kebohongan lagi."

Hari ini, Ayah mengajak Adil mendiskusikan ruko yang akan menjadi tempat membuka usaha. Sebab perusahaan tidak akan menerima mantan napi jika Ayah kembali mengajukan lamaran. Untuk menyambung hidup Ayah mengusulkan membuka restoran kecil. Adil mendukung. Lagian keahlian Ayah dalam memasak tidak diragukan, Lintang bisa ikut membantu, mereka hanya butuh satu karyawan lagi untuk melengkapi tim.

"Bagaimana kalau yang ini," Ayah menunjukkan foto salah satu ruko pada Adil.

"Bagusan yang ini," Adil memberi masukan. "Aksesnya juga dekat rumah."

Ayah mengerutkan dahi. "Tapi kemarin waktu Ayah ke sana, suasananya sunyi."

"Justru itu, Yah. Resto kitalah yang harus membuat kawasan ini ramai. Kalau di tempat lain, peluang kita kecil karena harus bersaing dengan resto besar."

"Tapi Ayah sangsi."

"Percaya sama Adil, Yah."

Ayah mengetuk-ngetuk bibirnya dengan ujung jari. Lalu setuju dengan pilihan Adil. Beliau lantas menyingkarkan semua foto ruko di meja. Majalah interior design jadi sasaran berikutnya. Memang untuk mempercantik isi ruko, Ayah ingin tampilannya tak kuno. Makanya kemarin beliau membeli majalah desain sebagai referensi. Beliau membuka-buka halaman majalah.

Adil ikut memperhatikan.

"Kau ingin desain seperti apa?" Ayah meminta pendapat.

"Yang sederhana tapi elegan," sahut Adil.

Ayah berhenti di salah satu halaman majalah. Warna cokelat yang mendominasi interior menarik perhatian. Letak furniturnya juga enak dipandang mata. Lampu-lampu gantung klasik yang tertanam di langit-langit memberi kesan elok. Ayah langsung jatuh hati pada konsep ini. "Ayah suka interior ini."

Adil merasakan hal serupa. "Kalau ini aku juga setuju."

Setelah bulat memutuskan desain interior, Ayah dan Adil lanjut membahas biaya yang akan dikeluarkan untuk memulai bisnis ini. Mulai dari renovasi isi ruko, membeli mebel, kelengkapan kitchen, hingga gaji karyawan. Bea per hari untuk bahan makanan juga jadi obrolan yang penting. Data menu masakan jadi bahan diskusi paling alot hari ini. Adil dan Ayah masing-masing punya selera dan pilihan sendiri. Namun kata sepakat muncul saat mereka sama-sama setuju Swadisht Resto sebagai nama restoran. [*swadisht artinya enak]

"Kalau begitu sekarang kau temui Paman Sajid. Berikan ini padanya," Ayah menyodorkan majalah. Di dalamnya desain yang ditentukan sudah dilipat sebagai tanda.

"Paman Sajid?"

"Ya, Paman Sajid. Dia tukang mebel. Kita bisa minta bantuannya mendesain ruangan."

Adil bingung. Ini pertama kalinya dia mendengar nama ini.

"Oh, Adil jangan bilang kau lupa atau kau tak tahu alamat Paman Sajid," Ayah sudah curiga. "Baru januari kemarin Ayah menyuruhmu ke rumah beliau, masa sekarang bisa lupa?" Ayah geleng-geleng. "Entahlah, Ayah merasa kamu pikun sebelum tua."

Mau bagaimana lagi, itulah kenyataannya. Ingatan masa lalu lima tahun terakhir sudah lenyap di kepala. Seberapa pun Ayah mengoceh, dia tak bisa menjelaskan. Satu-satunya cara selain berbohong adalah tak bersuara.

"Ya udah, biar Ayah yang pergi," putus Ayah kemudian. "Kebetulan Ayah ada urusan sebentar."

---

Sorenya sekembalinya Ayah dari urusan, beliau langsung menemui Adil di kamar. Tampang Ayah menyimpan rahasia ketika membawa Adil hingga ke teras.

"Apa yang ingin Ayah tunjukan," tanya Adil penasaran ketika mereka sudah di luar.

"Kau lihat itu," Ayah menunjuk ke halaman.

Adil kaget, tepat di halaman sebuah motor terparkir. Ukurannya besar tapi kelihatannya bekas.

Ayah memegang pundak Adil. "Motor itu untuk kamu," kata Ayah selanjutnya. "Meski bukan baru, setidaknya barang ini bisa membayar kesalahan Ayah yang tidak bisa menjagamu beberapa tahun terakhir ini."

Adil menatap Ayah sejenak. Pria di sampingnya ini seolah ingin menunjukkan kasih padanya.

Ayah lalu mengajak ke halaman. Adil yang senang lalu memperhatikan motor gede berwarna hitam ini. Dia meraba bodi motor yang licin, memperhatikan wajahnya di spion dan mengecek rem serta gas. "Thanks, Yah," ucapnya berterima kasih. "Tanpa moge ini atau tidak, bagi Adil, keberadaan Ayah di sisi sudah lebih dari segalanya."

"Sekarang naiklah, tugas pertama kamu, antarkan Ayah jalan-jalan sore."

Adil lalu mengangkat tangan hormat. Segera dia naik ke bodi motor. Ayah di belakang turut berada di boncengan. Ketika sudah memastikan Ayah siap, Adil menggerakkan motor dengan sekali gas. Meninggalkan halaman rumah. Ayah langsung menjadi juru arah sore itu. Bertahun-tahun di penjara tampaknya beliau penasaran keadaan Jamshed Town. Adil membawa motor ke utara Razi Road, melewati gedung-gedung tinggi dan pusat perbelanjaan.

Ayah di atas motor mengoceh tentang perubahan-perubahan yang terjadi. Kota menjadi lebih padat, lebih ramai dan tertata. Jauh berbeda sebelum beliau masuk prodeo. Ketika bosan bercerita tentang kota, Ayah mengubah topik pembicaraan tiba-tiba. "Lintang tak ke rumah hari ini?"

"Katanya dia sedang mengurus beberapa mata kuliah di kampus."

"Dil, apa kau tidak berpikir untuk membuat hubunganmu lebih serius dengan Lintang?"

"Maksud Ayah?" Adil menatap Ayah dari spion.

"Hubungan yang tak sekadar pacaran," Ayah menjelaskan. "Ayah melihat Lintang baik perangainya. Dia juga perhatian pada Ayah. Sudah lama kita berdua hidup tanpa seorang wanita yang akan mencereweti. Kadang Ayah rindu pada bawel-bawelan ibumu. Dan Lintang mungkin bisa menggantikannya."

Adil diam. Kenapa obrolan Ayah jadi berat begini?

"Jika terlalu cepat untuk menikah, sebaiknya kalian tunangan dulu."

"Apakah kita harus membahasnya di atas motor begini?" Adil merasa kurang enak mengoborol hal serius di jalan.

"Oke, berarti di rumah kita harus membahasnya," kata Ayah menetapkan.

***

.....bersambung ke Chapter Eighteen [D]

Author Note:
-Harap bersabar part ini pendek. Soalnya part pamungkasnya agak panjang. Aku mau bikin adegan-adegan bagus di part selanjutnya untuk Adil dan Lintang. Sebenarnya Chapter ini harusnya aku update kemarin, tapi berhubung ke luar kota, makanya aku pending. Selamat menunggu Chapter Eighteen [E].

Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang