Chapter Eight [D]

4.7K 309 181
                                    

Di Kemari Town

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di Kemari Town. Pukul 23.45

"Adil, jalan mana yang betul?" gerutu Lintang agak sebal. Sejak tadi mobil hanya berputar-putar tak tentu arah. Adil sebagai informan jalan labil memberikan keterangan. Sebentar menginstruksi ke kiri, sebentar arah mobil berubah lagi ke jalur kanan, lalu memerintah untuk balik arah. Berulang-ulang. Lintang pusing.

"Aku lupa jalannya!" aku Adil akhirnya.

Kepala Lintang langsung menekuk. Pernyataan itu membuat lemas. Jadi sejak tadi dia mengemudi, sia-sia. Hanya mengurangi bensin di tangki. "Kamu lupa?"

"Ini malam Lintang. Semua jalan terlihat sama," Adil beralasan. "Lagi pula, terakhir aku datang ke makam ibu, saat aku berumur tiga belas tahun."

Apa? Lintang menoleh.

"Sekitar enam tahun lalu," lanjut Adil. "Maaf, sebelas tahun lalu," ralat Adil setelah engah kalau ini 2019.

Sebelas tahun adalah range waktu yang lama. Lintang menghela napas. Dia tahu siapa pun yang datang kembali ke sebuah kota yang pernah ditinggalkan, dengan lama waktu yang panjang, pasti akan kagok jika kembali, termasuk bingung dengan jalan atau lokasi tertentu. Tapi jujur ini cukup aneh. Kemari Town adalah kawasan yang mudah di jangkau dari Jamshed Town, namun Adil jarang datang ke sini menziarahi makam ibunya? "Lalu sekarang bagaimana?" tanya Lintang.

Adil menaikkan bahu.

Kecepatan mobil memelan, Lintang sengaja melakukannya. Toh sama saja, jika dipercepat pun, tujuan mereka tetap tak berarah. Jalan di sekitar makin sunyi, hanya ada satu-dua motor yang melintas. Lampu-lampu jalan di atas trotoar sebagian sudah padam. Penghuni Kemari Town hanya tampak segelintir, mayoritas sudah memilih lelap di ranjang-ranjang kamar bahkan sejak satu jam lalu. Lintang lalu menepikan mobil di alun-alun kota, tepat di bawah papan billboard yang menampilkan Ali Zafar dengan iklan terbarunya.

Sesaat Lintang dan Adil diam. Lintang memeluk setir, sementara Adil fokus menatap ke depan.

Cahaya dari lampu billboard membuat terang sekeliling. Cahayanya bahkan menembus kaca depan mobil. Area dasbor jadi ikut terang.

"Kenapa kau harus susah-susah membawaku kemari?" Adil membuka suara. "Toh sama saja, kita tidak menemukan makam ibuku."

"Aku hanya ingin mewujudkan keinginanmu dua bulan lalu," ujar Lintang. "Aku bisa melihat rindu di matamu, saat kau mengatakan kangen ibu di pameran buku waktu itu."

"Tapi kau terlihat terlalu berusaha untukku." Adil membasahi bibirnya. "Kau bisa saja melupakan hal itu atau menganggap keinginanku itu angin lalu. Tak perlu serepot ini."

"Percayalah aku tulus melakukannya. Demi kau. Demi ulang tahunmu."

Mendadak lampu di seluruh alun-alun kota padam. Semua jadi gelap. Barangkali sistem kelistrikan kota sedang mengalami kerusakan atau gangguan. Untunglah lampu di jok depan masih menyala, sehingga Adil dan Lintang masih bisa saling melihat. Mereka sempat mengitarkan pandangan ke luar mobil. Lintang melirik jam di pergelangan tangan. Pukul 23.59. Satu menit lagi tanggal akan berubah ke angka 8. Itu artinya Adil akan bertambah umur. Lekas Lintang meraih tasnya di jok belakang, dia mengambil sesuatu.

Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang