Untuk menghadirkan suasana lain dari kebosanan rutinitas, akhirnya Adil nekat pergi ke Institute of Business Administration Karachi. Agar tidak kontras dengan mahasiswa lain, pria itu berpenampilan ala anak kuliah. Dia mengenakan kemeja biru berlengan pendek, celana panjang warna cokelat dan sepatu kets. Adil juga merapikan rambut menggunakan gel, menipiskan berewok dan menyemprotkan parfum di bagian tubuh tertentu. Bermodal alamat yang dia catat dari buku di rak kamar, Adil menumpangi bus ke kampus.
Sepanjang perjalanan banyak pertanyaan melintas di kepala Adil. Bagaimana rupa gedung kuliah Manajemen tempatnya menimba ilmu? Apakah mahasiswa-mahasiswanya menyenangkan? Apakah suasana kampus senyaman gambaran yang sering dia lihat di televisi?
Bus berhenti di depan gerbang Institute of Business Administration Karachi. Santai Adil turun. Sejumlah mahasiswa keluar masuk di depan gerbang. Mereka memikul tas di belakang punggung, dan sebagian lagi mendekap buku dalam pelukan. Adil mengikuti sebagian mahasiswa yang tampak melewati gerbang. Pria itu mengamati halaman luas yang membentang di depannya. Sebuah gedung besar berbentuk kembar dengan empat lantai lalu menyapanya. Bahasa Urdu yang tertulis dekat bubungan gedung, menerangkan kalau bagunan ini rektorat.
Sekilas Adil membuang pandang ke semua sudut. Melihat-lihat seperti peneliti yang sedang mencari objek. Mahasiswa-mahasiswa yang berseliweran kemudian menjadi sasaran pengamatannya. Sesaat Adil merasa menjadi mahasiswa betulan. Padahal seingatnya beberapa bulan kemarin, dia adalah pesepak bola yang ogah menyentuh bangku kuliah. Sejumlah orang heran dengan sikap Adil yang terkesan aneh. Ketika banyak orang berekspresi yang sama, Adil hanya memberikan senyun dan sedikit membungkuk.
Berputar-putar nyaris setengah jam, akhirnya Adil menemukan gedung kuliah Manajemen. Menurut Fahad dan Lintang, tempat inilah sebagian harinya dihabiskan dalam tiga tahun terakhir. Berkutat dengan kuliah, tugas, diskusi ilmiah dan penelitian-penelitian jangka pendek. Di halaman gedung ini, Adil kembali bersikap seperti pengamat. Mendelik meter per meter ukuran gedung berlantai banyak di hadapannya. Kawanan mahasiswa sedang berkumpul di teras gedung, membincangkan sesuatu.
Genjotan langkah Adil dimulai. Dia lurus menuju teras gedung kuliah.
Kawanan mahasiswa yang bergerombol kompak menyapanya. Adil spontan kaget. Berarti aku lumayan dikenal? Dari tampangnya-tampangnya Adil bisa memperkirakan kalau mereka adalah mahasiswa tingkat satu atau tiga. Wajah-wajah mereka masih menunjukkan khas anak sekolah menengah atas.
"Sedang apa kalian di sini?" ragu-ragu Adil bertanya.
"Lagi menunggu jam berikutnya," kor sebagian kompak.
"Kakak duluan ya," pamit Adil langsung. Dia tahu, jika terlibat percakapan dengan mereka akan ada banyak hal yang tidak ingat tentang masa-masa kuliah.
Adil lantas menjauh dari teras. Dia mengayuh langkah masuk gedung kuliah. Di lantai satu, pria itu menyortir ruangan per ruangan. Kepalanya mendongak memandangi setiap papan yang digantung di rangka pintu bagian atas. Papan itu memuat tulisan yang menerangkan fungsi ruangan. Mulai dari tempat kuliah, laboratorium, ruang praktek, dan beberapa ruangan dosen. Sayang Adil tidak bisa melihat ke dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)
General FictionSuatu masa, saat melupakan menjadi takdir yang tak kau sukai *** Adil tak pernah tahu, bahwa cinta akan menyapanya secepat itu. Tapi yang dia yakini, bahwa perempuan bernama Lintang bukanlah belahan jiwanya. Ayesha-lah wanita yang dia tunggu. Sa...