Chapter Two

8.6K 666 155
                                    

Jam di dinding menunjukkan pukul tiga sore.

Lintang duduk berhadapan dengan dokter di ruangan 4 x 4 m2. Jarak mereka dibatasi oleh sebuah meja cokelat. Dokter yang mulai beruban ini, adalah dokter yang menangani operasi Adil di emergency room. Namanya Dokter Zafar. Lintang memang tidak pulang sejak kemarin. Dia lebih memilih menunggu penjelasan dokter atas kondisi Adil. Sementara itu tadi pagi Ayesha dan Fahad pamit meninggalkan rumah sakit.

"Maaf, karena kau harus menunggu," cetus Dokter Zafar. "Kami harus mengevalusi operasi pasien terlebih dahulu."

"Tidak apa-apa," ucap Lintang. "Jadi bagaimana Dok?"

"Dari hasil operasi yang kami lakukan, tim dokter melihat kerusakan di beberapa bagian kepala pasien. Tapi kami belum bisa memastikan akibat yang akan terjadi nanti."

"Jadi?"

"Jadi ada beberapa kemungkinan yang nanti bisa menimpa pasien. Dia bisa saja mengalami gegar otak. Cedera di kepala juga bisa berakibat afasia, apraksia, agnosia ataupun amnesia. Tetapi itu bisa diketahui setelah pasien siuman."

"Apakah cederanya parah?"

Dokter Zafar meletakkan tangan di meja. "Setiap cedera kepala memang harus diwaspadai. Dan kamu harus siap dengan segala kemungkinan terburuk."

Lintang mengunci mulut sesaat. Kenyataan ini serasa membunuh gairahnya.

"Pulanglah, kulihat kau kurang istirahat," nasihat Dokter. Beliau bisa melihat jelas kantong mata Lintang yang hitam dan melorot. "Pasien tetap masih dalam pengawasan, jadi kau tidak perlu terlalu cemas untuk menunggunya di sini. Toh kami juga belum bisa memastikan kapan pasien sadar."

"Tapi—"

"Saya mengerti psikologis kamu," Dokter menyela cepat. "Tapi kau juga butuh istirahat. Kelelahan juga bisa memicu penyakit."

Nasihat dokter lumayan meluluhkan hati Lintang. Wanita itu lantas bangkit, dan berlalu dari ruangan Dokter Zafar.

***

Langit setengah mendung ketika Lintang berada di boulevard depan rumah sakit. Wanita itu menyetopkan taksi. Dia duduk tepat di belakang supir, dan menyandarkan kepala ke jendela. Meski menatap suasana jalan, namun pandangannya kosong. Jujur, keterangan dari Dokter Zafar tadi sedikit banyak mengganggu isi kepala. Ini akan menjadi berat jika nanti kemungkinan terburuk benar-benar harus dia hadapi.

Taksi masih membelah jalan Jamshed Town. Sore di jantung kota selalu menghadirkan suasana hangat, apalagi Maret menjadi hal terbaik penghuni kota untuk merayakan musim panas yang akan segera datang. Orang-orang mulai memakai baju yang sedikit tipis, melepas syal dan baju hangat. Kafe-kafe es krim mulai dibuka pedagang, dan orang-orang akan tiga kali lipat lebih banyak di jalanan. Supir taksi melajukan kendaraan sesuai petunjuk Lintang. Melewati tiga belokan jalan utama, supir akhirnya menepikan taksi.

"Kita sudah sampai!" Supir taksi memantau Lintang dari spion di atas dasbor.

Lintang menanyakan harga argo, lalu membayar. Dia sempat melirik jam di pergelangan tangan, sebelum keluar dari taksi.

Dua menit setelah taksi pergi, Lintang mengepit tas di ketiak. Dia berdiri tegak lurus dengan sebuah bangunan berlantai dua. Arsitekturnya bergaya minimalis. Catnya biru safir, elok dipandang mata. Ada sebuah taman mungil di depan teras. Rumah-rumah di sekitar juga rata-rata mengusung konsep serupa. Tipikal hunian di kota besar. Lintang melanjutkan langkah ke teras. Dia bergerak ke sisi tembok sebelah kiri, lalu mengambil sesuatu dari kotak yang menempel di dinding. Benda itu sebuah kunci. Berbekal kunci tersebut, Lintang membuka pintu.

Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang