Pukul 20.05
Di kamar Fahad memeluk gitar. Mencoba-coba memetik beberapa kunci. Menggenjrang tidak teratur. Kadang-kadang bunyinya lembut, kadang-kadang bernada kasar. Lalu pria itu berhenti bermain. Beberapa menit kemudian, dia menggenjarang lagi, dengan petikan yang semakin semrawut. Tidak enak didengar.
Pria itu tahu, mengapa malam ini permainan gitarnya tak fokus. Penyebabnya adalah kalimat Adil yang tercetus spontan saat mereka membawa pemanggang sore tadi. Aku merasa baru saja jatuh cinta kepada Lintang—itulah kalimat Adil. Kalimatnya yang membuat hatinya remuk sejak mereka meninggalkan taman. Kalimat yang kini mirip pisau, merusak seluruh saraf di kepala Fahad.
Tahukah Adil, bahwa dirinya adalah pria yang telah lama menyimpan cinta kepada Lintang? Pria yang selama ini berdoa, memohon agar Adil tidak akan pernah jatuh cinta kepada wanita itu? Apalagi setelah pasca Adil siuman.
Tapi sayang semua sudah lebur.
Pria itu lalu memetik senar-senar gitar lagi. Kuat-kuat. Sembarangan. Menumpahkan kekecewaan hati.
---
Pukul 21.07
Langit malam bertabur gemintang. Bulan separuh menggantung. Adil kabur dari rumah dan pergi ke lapangan di ujung kompleks. Tampaknya dia ingin mencari suasana lain dari malam-malam sebelumnya.
Namun malam ini, Adil tak ingin menggiring bola. Dia hanya ingin duduk silinder-silinder beton yang disusun melintang, bertumpuk-tumpuk. Disinari empat lampu jalan di sudut lapangan, pria itu mengambil notes cokelat di saku belakang. Dan menulis, mencurahkan pengalaman tadi sore di taman.
Tuhan, aku tahu, tadi aku telah jatuh cinta.
Begitulah yang kurasa. Sepertinya rasa ini datang perlahan-lahan. Tiba dengan segala ketidaktahuanku akan masa lalu. Mungkin benar cinta bisa lahir dari kebersamaan, pertemuan-pertemuan intens, dan segala kecocokan. Kami.
Tuhan, benar aku jatuh cinta.
Rasa ini begitu kuat. Bahkan malam ini, setelah kami berpisah, aku masih ingin berada di sampingnya. Berbincang soal masakan dan membantunya memasak. Memasak lebih banyak menu lagi.
Tuhan, aku jatuh cinta,
dan dialah Lintang.
Lambat-lambat memori Adil mundur ke belakang. Mengenang segala hal yang dia lewati bareng Lintang pasca siuman. Satu per satu kenangan itu bergerak di kepala. Pertama-tama, dia mengingat 'kenalan' yang mereka lakukan sekali lagi di rumah. Mengingat kunjungan mereka ke penjara, jalan-jalan di sekitar Charminar. Lalu memorinya pindah ke perjalanan mereka ke Kemari Town, mencari makam ibunya. Tidur di mobil, dan melewatkan hari di pantai Cape Mount. Lintang pula orang yang menemaninya melakukan pemeriksaan ke dokter. Tentu Adil juga mengenang bagaimana setiap menit yang mereka lewatkan di Saddar Town, saat mengunjungi markas Karachi FC dan bermain bola di bawah hujan. Itu amat menyenangkan. Adil tersenyum menyadari betapa lucunya saat mereka beradu kaki di lapangan.
Ingatan kemudian membawanya kembali pada masakan Lintang yang membekas di lidah, serta kebaikan-kebaikannya membawa majalah. Akh, seharusnya saat menyaksikan bola di Lyari Town aku mengajaknya.
Adil membuka lembar lain di notes, lantas menggores pena.
Tuhan, jika Lintang adalah wanita yang tepat, buatlah dia jatuh cinta juga padaku.
---
Pukul 22.11
Sejak setengah jam lalu selepas mengerjakan tugas kampus, Ayesha memutuskan naik ke rooftop apartemen. Dari ketinggian atap gedung berlantai empat ini, wanita itu bisa memandang jauh seluruh Jamshed Town di bawah sana.
Kota begitu temaram.
Dan di langit bulan setengah, indah memancar. Cahayanya membentuk siluet-siluet di beberapa gedung.
Wanita itu memegang pembatas gedung di ujung rooftop yang menyiku. Pikiran Ayesha jauh melayang ke restoran di Lyari Town. Tempat di mana tanpa sengaja dia menemukan Adil, dan mendengar pernyataan 'rindu' yang sampai saat ini memberikan banyak tanya di kepala.
Jika perpustakaan adalah sebuah kenangan yang menyimpan rindu bagi Adil, apakah ini pertanda Adil akan mengingat masa lalu? Jika ya, sampai kapan aku harus menunggu. Menunggunya kembali mengingat semua. Ataukah aku harus percaya sekali lagi, pada Navid. Percaya kalau musim panas selalu membawa harapan kepada orang-orang yang menunggu? Barangkali ya, aku memang harus menunggu.
Menunggu untuk sebuah janji yang pernah kukatakan padanya?
.....bersambung ke Chapter Fifteen
Author Note:
-Sampai ketemu di Chapter 15. Doakan biar cepat update ya....
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)
General FictionSuatu masa, saat melupakan menjadi takdir yang tak kau sukai *** Adil tak pernah tahu, bahwa cinta akan menyapanya secepat itu. Tapi yang dia yakini, bahwa perempuan bernama Lintang bukanlah belahan jiwanya. Ayesha-lah wanita yang dia tunggu. Sa...