Chapter Five [D]

5.9K 366 156
                                    

Jelas hari ini Adil seperti musafir yang haus jalan usai menyadari kakinya tak sekuat dulu untuk menggelinding bola

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jelas hari ini Adil seperti musafir yang haus jalan usai menyadari kakinya tak sekuat dulu untuk menggelinding bola. Di jantung kota, Adil melintasi banyak jalan, mencari tahu apa saja yang telah hilang dan baru muncul di kota kelahirannya.

Adil menyusuri barisan toko di pusat kota. Sebuah toko yang menjual peralatan tulis menarik perhatian. Adil membungkuk di depan dinding toko yang berbahan kaca, melihat-lihat berbagai buku yang tertata di dalam etalase. Pria itu teringat saran dokter yang disampaikan Fahad. Bahwa sebuah catatan mungkin akan bagus untuk menguatkan ingatannya.

Tanpa pikir panjang Adil membawa diri masuk. Dia menyibukkan diri di depan rak yang memajang notes. Jenisnya beragam. Dari ukuran sekecil voucher pulsa sampai sebesar buku peta. Adil meraba-raba sebuah notes berwarna cokelat dengan kulit cover menggunakan bahan sintetis. Ukurannya tidak terlalu panjang, tapi kira-kira bisa muat di saku celana jeans. Adil final mengambil notes itu. Dia juga membeli bolpoin warna serupa, sebelum membayar dan meninggalkan toko. Dengan benda-benda tersebut dia bisa menulis apa saja—keadaan dan perubahan seharusnya bisa menjadi catatan penting setelah memorinya benar-benar lenyap di kepala.

Pukul tiga sore setelah puas di jantung kota, Adil melarikan diri ke Mausoleum of Quaid-e-Azam yang berada sebelahan dengan Jinnah Park. Tempat ini menyimpan banyak kenangan bersama mendiang ibu. Dulu ketika Adil kecil merengek meminta baju bola yang mahal, dan ibu merasa tidak punya cukup tabungan, maka mengunjungi Mausoleum of Quaid-e-Azam adalah obat manjur untuk mengganti permintaan Adil kecil. Lokasi ini sendiri merupakan tempat peristirahatan terakhir Quaid-e-Azam atau Pemimpin Besar Muhammad Ali Jinnah, pendiri Pakistan. Aristekturnya seperti bangunan persegi dengan ujung lebih kecil. Warnanya putih serta memiliki semacam pintu di setiap sisi. Bagian kubahnya berbentuk setengah bola dan licin. Marmer-marmer bercorak dominan putih di sekitar bangunan menambah kesan megah. Bangunan hasil karya Yahya Merchant ini posisinya dikepung taman hijau yang dibuat petakan-petakan yang menghampar luas. Orang-orang akan takjub jika berada di kawasan ini.

Adil menjangkau tangga-tangga marmer dekat bangunan inti Mausoleum of Quaid-e-Azam. Pandangannya teduh ke petakan taman. Seliweran pengunjung makin ramai, tampak juga turis-turis asal Eropa dan Asia Timur. Adil duduk di salah satu anak tangga. Angin yang bertiup kencang menyipitkan matanya.

Seorang anak kecil yang menarik-narik lengan ibunya, segera membawa memori Adil jauh mengenang ibu. Bagaimana tidak, di tempat ini mereka sering berlarian, bercengkerama dan menghabiskan sepanjang hari di sini. Tapi..., itu dulu.

Ketika beberapa turis merayakan sore, dan pengunjung merasa surga baru saja diciptakan Tuhan di sini, Adil malah disergap sunyi. Tahun yang seingatnya 2014 ini terlalu banyak menghadirkan tanya.

Pria tersebut membuka notes cokelat. Sebuah tulisan pertama dia ukir lewat bolpoin.

2019..., sebuah catatan.

.....bersambung ke Chapter Five [E]

Author Note:
-Chapter ini cuma 1 Part.
-Ganti Cover & Pemenangnya diumumin setelah Chapter Five semuanya rampung
-Komentar kece, dapat dedikasi.

-Bantuin Author dengan vomment, please!

Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang