Awal bulan Mei datang begitu cepat dengan cuaca yang menggoda.
Udara semakin hangat di seluruh Jamshed Town. Langit beberapa hari ini cerah tanpa awan. Angin bertiup-tiup rendah menerbangkan daun dari pokok-pokok pohon. Taman kota mulai ramai dengan guguran daun kering. Sementara kembang seperti iris, peony dan kenikir mulai menguncup, malah sebagian jenis mawar sudah mekar. Penduduk di Karachi semakin suka mengenakan pakaian yang lebih mudah menyerap keringat. Sedangkan di sudut-sudut jalan akan semakin mudah menemukan gelaran bazar dari beberapa komunitas.
Di weekend awal Mei Lintang dan Ayesha sepakat bareng ke supermarket. Mereka akan belanja mingguan. Di rumah perlengkapan mandi dan cuci sudah habis. Pengharum ruangan sudah minta diganti. Sementara bahan makanan di kulkas sudah menipis. Letak supermarket tidak begitu jauh dari lokasi apartemen. Mereka hanya butuh menumpangi rickshaw—kendaraan sejenis bajaj.
Supermarket selalu ramai saat akhir pekan. Lintang dan Ayesha langsung sibuk di rak soap and care. Mereka memasukkan detergen, sabun batangan, pasta gigi dan obat kumur ke keranjang. Mereka juga mengambil pengharum ruangan, parfum, tisu, lotion, serta obat nyamuk semprot. Tentu semua itu diputuskan usai membandingkan harga untuk beberapa produk sejenis. Hidup mandiri kadang membuat mereka lebih perhitungan dari ibu rumah tangga saat berhadapan dengan barang belanja.
Kini mereka sudah berada di bagian food. Ayesha memilih kubis segar, sementara Lintang berada di kotak freezer. Wanita itu memperhatikan daging-daging yang terbungkus dalam plastik.
"Hari ini kita masak apa?" tanya Ayesha. "Indonesia atau Punjabi?"
Lintang menoleh sebab jarak mereka dipisahkan kotak buah. "Punjabi!" sahut Lintang. "Sekalian ajari aku."
"What?" Kening Ayesha mengerut. Wanita itu tahu Lintang ogah belajar masakan Punjabi meski sudah tiga tahun tinggal di Pakistan. "Kenapa tiba-tiba pengin belajar masakan Punjabi?"
"...."
"Pasti ada sesuatu. Ayo mengakulah."
Lintang membuka pintu freezer. "Mungkin kau lupa. Waktu di rumah sakit aku pernah berjanji, jika Adil siuman aku akan belajar masakan Punjabi dan memasak untuknya. Kurasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk membayar janji itu."
Ayesha menjeling mata dengan kepala sedikit terangkat. Ya, dia ingat. Bahkan janji itu terpotong dengan reaksi tangan Adil yang bergerak-gerak. Entahlah, barangkali janji itulah yang kemudian membuat Adil sadar beberapa jam kemudian.
"Kalau kau serius aku bersedia," Ayesha siap.
"Aku janji, akan serius!"
Hari itu mereka juga membawa pulang daging, ikan, kubis, kentang, wortel dan tomat dari supermarket.
---
Dua jam tiba di rumah—saat akan menyiapkan makan malam Lintang langsung siaga di dapur. Wanita itu semangat karena ini merupakan kesempatan pertamanya praktik. Ayesha sendiri menyarankan untuk membuat paratha, menurutnya makanan ini akan cepat dikuasi Lintang.
Mini bar kini sudah penuh dengan bahan paratha. Ada mangkuk besar yang berisi tepung, botol susu cair, kotak mentega, serta stoples gula dan garam.
Ayesha mengomando Lintang untuk mencampur semua bahan kecuali mentega di wadah besar. Lintang menurut, dia telaten mengikuti step by step. Butuh tujuh menit sebelum adonan rata dan kalis. Ayesha menyarankan agar adonan didiamkan sebentar agar sedikit mengembang.
"Jika kau rutin berlatih, dalam seminggu kau bisa menguasi tiga atau empat jenis masakan," komentar Ayesha.
Lintang mengelap peluh di pelipis. "Baru ini saja aku sudah keringatan."
"Hahaha, makanya jangan tegang!"
Mereka lantas membulatkan odanan kecil-kecil mirip bakso. Lintang setengah menyerah ketika Ayesha menyuruhnya memipihkan bulatan-bulatan adonan. Meski sudah menggunakan kayu rol, beberapa adonan yang diratakan pecah dan kadang bergaris. Lintang tiga kali berkacak pinggang lantaran mengulang hal yang sama. Sungguh menguras sabar.
Ayesha menyembunyikan tawa.
"Besok kau mau belajar masak apa? Tandoori chicken? Okra? Kebab? Aloo methi?" tanya Ayesha ketika mereka sudah memanggang paratha.
"Apa saja, asal jangan yang susah-susah."
"Astaga Lintang, bagaimana Adil mau memuji masakanmu nanti, jika menu yang kau pilih masakan yang mudah dibuat?" Ayesha geleng-geleng.
Pada akhirnya hari-hari setelah weekend di awal Mei, dapur menjadi tempat paling sering diacak-acak Lintang. Di bawah bimbingan Ayesha, Lintang bekerja keras menaklukan beragam menu. Kadang-kadang jika tidak lelah wanita itu mencuri waktu memasak sendiri tanpa pengawasan. Gagal, coba lagi. Gagal, coba lagi. Begitu seterusnya. Sampai adakalanya Lintang menyerah sendiri.
Semoga dengan latihan ini, dia sukses mempersembahkan masakan pertamanya kepada Adil.
.....bersambung ke Chapter Eight [B]
Author Note:
-Chapter ini aku post setelah pulang dari rumah teman yang merayakan natal. Sungkan juga nolak, soalnya dia penyiar senior di kantor.
-Chapter ini adalah hutang janji yang dilakukan oleh Lintang kepada Adil di rumah sakit.
-Oya, Chapter lanjutannya mungkin agak slow update, soalnya Author lagi pengin liburan. Kamu juga kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)
General FictionSuatu masa, saat melupakan menjadi takdir yang tak kau sukai *** Adil tak pernah tahu, bahwa cinta akan menyapanya secepat itu. Tapi yang dia yakini, bahwa perempuan bernama Lintang bukanlah belahan jiwanya. Ayesha-lah wanita yang dia tunggu. Sa...