Chapter Eight [C]

4.9K 309 131
                                    

Pegangan Lintang masih melekat pada setir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pegangan Lintang masih melekat pada setir. Roda mobil Fahad sudah memasuki kawasan Razi Road. Lintang memelankan laju kecepatan begitu rumah bernomor 9A tampak. Wanita itu menepikan mobil dan mematikan mesin. Lintang sempat menenangkan napas sebelum turun dari mobil. Yang berkelebat di pikiran hanya satu, apakah nanti di dalam Adil akan kembali setuju dengan idenya? Mengingat akhir bulan kemarin dia juga datang tiba-tiba dan membawa Adil pergi.

Lingkaran waktu terus bergerak. Mendadak Lintang tidak seburu-buru tadi. Pintu rumah Adil seolah mengajaknya agar 'lebih santai sedikit'. Lintang mengangkat tangan dan mengetuk. Tiga kali. Tak ada respons. Lintang mencoba lagi, empat kali ketukan. Belum ada respons. Barangkali Adil berada di lantai dua sehingga luput dari suara ketukan pintu. Lintang mencebik bibir, bagaimana ini?

Sepertinya dia harus memberi salam, plus membesarkan suara. Wanita itu membuat corong dengan tangan dan berancang-ancang salam.

"Tak usah teriak. Aku di belakangmu," —suara seseorang di belakang punggung membatalkan niat Lintang.

Lintang kenal suara itu milik Adil. Dia membalikkan badan dan mendapati Adil menenteng paper bag putih. "Aku... dari tadi mengetuk. Tapi..., tidak ada respons," Lintang pura-pura kagok.

"Aku keluar beli handphone." Adil mengangkat paper bag lima senti lebih tinggi.

"Pantas."

Sebelumnya memang ponsel Adil ikut rusak akibat kecelakaan yang menimpanya. Sejak siuman pria itu memang belum kepikiran untuk membeli perangkat penghubung. Namun sejak seminggu belakangan keinginan memiliki ponsel begitu mendesak. Sebab dia perlu terhubung dengan orang lain termasuk sahabat-sahabatnya.

Langkah Adil lantas berpindah ke posisi kotak yang menempel di dinding. Pria itu mengambil kunci. "Pasti deh ada niat terselebung kalau kemari," Adil setengah bercanda. Sepertinya pria itu semakin luwes menghadapi Lintang. Adil memasukkan kunci ke lubang pintu.

"Aku ke sini untuk menculik kamu," jelas Lintang dengan menekan kata menculik.

"Hahaha, kau seperti penjahat." Adil mendorong pintu dan masuk.

Lintang mengekori di belakang. "Benar aku ke sini karena ingin menculik kamu!" Lintang menegaskan. "Sekarang simpan paper bag-nya dan ikut aku."

"Kamu serius?" aju Adil. Pria itu tahu, kata 'menculik' yang disebut Lintang bermaksud mengajak. Kenapa ketika wanita ini muncul di rumahnya, selalu saja ada kejutan yang turut serta.

Mereka sudah berada di ruang tengah.

"Waktu kita tidak banyak," Lintang bicara lagi. "Keburu malam."

Reaksi Adil yang biasa saja, akhirnya membuat Lintang gereget. Tanpa memperpanjang obrolan, wanita itu menarik pergelangan tangan Adil. Pria itu seketika menganjur. Sesaat Adil menurunkan pandangan ke genggaman Lintang. Cengkeraman itu begitu kuat.

Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang