Selesai makan malam, Fahad mengantar Lintang dan Ayesha ke apartemen. Pria tersebut cukup berhasil menunaikan tugasnya mengenalkan Lintang dan Ayesha. Positifnya Adil menunjukkan penerimaan yang baik. Fahad berharap ke depannya kehidupan sosial Adil akan normal seperti sedia kala.
Pria itu melajukan mobil dari apartemen ke rumah.
Pukul sepuluh lewat, Fahad tiba di rumah. Hunian yang ditinggali Fahad berdiri di lahan yang luas, bangunannya berlantai dua, dengan pilar-pilar besar sebagai penyangga. Ruang tamunya amat lapang, langit-langitnya menjulang, jendela-jendelanya tinggi dan mengerucut mengingatkan kita pada jendela-jendala di bangunan kerajaan masa klasik. Kamar-kamarnya tiga kali lipat luas kamar Adil. Marmer-marmernya mengilap dan lebar. Pekerjaan ayahnya sebagai Chief Financial Officer di perusahaan rokok skala nasional, jelas sanggup mendirikan rumah sesuai keinginan.
Usai memarkir mobil di garasi, Fahad masuk rumah. Di ruang tamu dia menemukan ayah yang sedang memegang koran, posisi kacamata ayah melorot sekian senti. Tidak biasanya ayah jam segini, masih bertahan di sofa.
Roman muka orang tua itu, kurang bersahabat.
"Ayah," sapa Fahad datar.
"Dari mana saja kamu?" tanya Ayah, nadanya tegas.
"Aku dari—"
"Jangan bilang dari rumah Adil!" sela Ayah cepat.
Fahad tak berkomentar.
"Sudah berapa kali Ayah bilang, jangan berhubungan dengan anak pembunuh seperti Adil. Dia akan membawa dampak buruk padamu!"
"Bukankah kita sudah membahas hal ini tadi, Yah?" sebut Fahad. Keterlambatan Fahad ke Razi Road sore tadi memang akibat perdebatannya dengan ayah. Sejak mengetahui kasus yang melibatkan Paman Najaf, ayah membatasi pergaulannya dengan Adil. Orang tua itu hampir selalu memproteksi Fahad lewat nasihat-nasihatnya.
"Yang pembunuh itu ayahnya. Bukan Adil!"
Ayah bangkit dari sofa. "Memang. Tapi tidak ada yang menjamin kelakuan Adil baik," Ayah geram. "Kau harus tahu, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya."
Fahad tertawa sinis. "Kupikir titel pendidikan dan jabatan yang disandang Ayah bisa membuat Ayah bijak dan sosialis. Ternyata tidak!" Fahad menggenjot beberapa langkah, hendak pergi ke arah tangga.
"Makin hari kau makin pintar bicara!"
Langkah Fahad terhenti, pria itu membalikkan badan. Sesaat dia mencerna kata-kata ayah barusan. Jujur diakui akhir-akhir ini pemikirannya yang tak sependapat memang dipicu dari sikap ayah. "Aku tahu, Ayah hanya takut karena nilai semesterku buruk kan?" Fahad menebak, sebab sejak dulu ayah menginginkan nilai sempurna darinya agar mudah dimasukkan ke dalam perusahaan rokok. Meski jabatan ayah tinggi di perusahaan milik relasinya, tetapi beliau tidak serta-merta dapat merekomendasikan Fahad, sebab standar perekrutan pegawai amat tinggi. "Bisa kupastikan nilai-nilaiku yang jelek bukan karena pertemananku dengan Adil."
Ayah mengepal tangan.
Fahad meneruskan langkah tanpa melihat ekspresi ayah. Dia menaiki anak tangga setahap demi setahap.
....bersambung ke Chapter Six [E]
Author Note:
-Chapter ini cuma segini.
-Tiga paragraf terakhir bikin aku pusing—bahkan ngedit sampai jam 3 pagi karena ketiduran. Sampai sekarang aku masih kurang sreg dengan narasinya.Vomment please!
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)
General FictionSuatu masa, saat melupakan menjadi takdir yang tak kau sukai *** Adil tak pernah tahu, bahwa cinta akan menyapanya secepat itu. Tapi yang dia yakini, bahwa perempuan bernama Lintang bukanlah belahan jiwanya. Ayesha-lah wanita yang dia tunggu. Sa...