Chapter Thirteen [C]

4.9K 284 69
                                    

Begitu sampai dekat Lintang, Ayesha langsung memperkenalkan orang yang dibawa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Begitu sampai dekat Lintang, Ayesha langsung memperkenalkan orang yang dibawa. "Perkenalkan ini Navid."

Pria yang dimaksud membuka senyum, lalu mengulurkan tangan ke hadapan Lintang. "Aku, pacar Ayesha!"

Mata Lintang membulat. "Pacar?

Navid tertawa lebar. "Bukan. Teman dekatnya," katanya meralat. Melihat Ayesha geram, pria itu mengedipkan sebelah matanya pada wanita itu.

"Omongan Navid sering aneh, jadi kau harus teliti mencerna mana ucapannya yang benar, mana yang bergurau," Ayesha merasa perlu meluruskan.

"Oh begitu ya?" Lintang melirik Navid yang menggerak-gerakkan tangan, seolah mengatakan jangan percaya dengan omongan Ayesha barusan. "Tampaknya kalian butuh minum. Akan kusiapkan jus." Lintang lalu ke dapur.

Saat menuangkan jus ke dalam gelas-gelas, Lintang membuang pandang sesekali ke ruang tengah. Dia menatap punggung Navid. Sebenarnya dari mana Ayesha mengenal pria ini. Selama tinggal bersama Ayesha, tak satu kali pun Lintang melihat pria ini, apalagi mendapati Ayesha membawanya ke apartemen.

Saat berbincang-bicang di ruang tengah, barulah Lintang tahu kalau Navid ini adalah anak dari kenalan orang tua Ayesha. Dia berkunjung ke Karachi untuk urusan bisnis. Sepintas Lintang menilai kalau Navid ini jenis pria yang pintar membuka obrolan enak. Gaya bahasanya santun dan pengetahuannya luas. Saat Lintang membeberkan asalnya, pembicaraan menjadi lebih menarik. Navid ternyata pernah ke Indonesia. Dulu kata Navid, sewaktu sekolah menengah, dia pernah berkunjung ke Jogja. Berlibur bersama keluarganya.

***

Kepingan Memori (1)

Tiga tahun lalu—3 hari pertama kuliah | di Perpustakaan Kampus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiga tahun lalu—3 hari pertama kuliah | di Perpustakaan Kampus.

Dengan langkah-langkah setengah ragu, Adil melewati rak demi rak. Keputusannya berada di perpustakaan ini adalah hasil rembuk pikiran yang dilakukan berkali-kali sejak mata kuliah pertama berakhir. Walau agaknya masih menyisa rasa bimbang di hati.

Jantungnya kian berdetak kencang tatkala tiba di rak Manajemen. Pria itu langsung memonitor meja yang menghadap jendela. Ada dua kursi di situ. Salah satu kursinya ditempati oleh seorang wanita. Dia mengenakan hijab krem. Warnanya serasi dengan baju panjang motif bunga-bunga kecil yang menutupi tubuh.

Wanita inilah yang menjadi tujuannya kemari.

Pelan-pelan Adil maju. Melewati dua meja. Dia berhenti tepat di belakang, menyamping dari kursi wanita itu. Tampaknya wanita itu sedang sibuk dengan bacaannya. Beberapa tumpukan buku juga terlihat di situ. Adil menahan dada sebentar, mencoba mengurangi detak jantungnya yang kacau. Setelah dirasa siap, Adil membuka suara, "Boleh aku duduk di sini?"

Wanita itu menoleh ke samping. "Boleh silakan. Aku sendirian soalnya."

Adil menarik kursi dan duduk. Ada jeda diam beberapa detik, sebelum Adil bicara lagi, "Sedang baca ya?" akh pernyataan macam apa ini? Adil merutuk dirinya sendiri.

"Seperti yang kau lihat."

"Sudah lama?" Adil mencoba lagi.

"Setengah jam yang lalu."

Adil lalu mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jari. Lumayan wanita ini cukup baik merespons dirinya. Terus apa dia harus to the point untuk mengutarakan tujuannya? Atau ditahan dulu. Pria itu berpikir sesaat. Menimbang-nimbang sebelum memutuskan. Satu menit berlalu hingga Adil berani bicara untuk ke sekian kali, "Oya namaku Adil."

"Aku tahu," kata wanita itu. Fokusnya matanya masih berada di halaman-halaman buku. "Namamu berada di urutan pertama dalam absen. Setiap dosen yang masuk, akan mengabsen namamu lebih dulu sebelum yang lain. Itu cukup mudah membuat siapa pun mengingat namamu."

Adil tersenyum, meski itu alasannya seenggaknya wanita ini tahu namanya.

Wanita itu lalu membuka halaman buku berikutnya. "Jadi kau numpang duduk di sini hanya untuk basa-basi?"

"Emm."

"Kulihat kau tidak membawa buku."

Argh! Adil menggerutu pelan. Benar, harusnya dia mengambil satu buku sebelum datang ke meja ini. Setidaknya dengan membaca, dia punya alasan untuk semeja dengan wanita ini. Uh, kenapa tidak kepikiran.

"Atau kau ingin mengajakku kenalan?" tebak wanita itu.

Adil mati kutu. Tujuannya benar-benar diketahui wanita ini.

"Sudah, mengakulah." Wanita itu menyembunyikan tawanya sembari menutup buku. "Motif apa lagi yang membuat seorang pria mendekati wanita, selain kenalan?"

Ingin rasanya Adil mengambil buku di atas meja dan menutupi wajahnya. Apakah cara seperti ini sudah usang? Tapi rasa-rasanya di luar sana, masih banyak pria melakukan hal yang kurang lebih sama dengannya, untuk mendapatkan kesempatan mengobrol. Mau tidak mau Adil memang harus jujur. Sudah lanjur terbaca. "Begitulah," Adil menampakkan sederetan gigi menutupi malu.

"Kau pasti sudah tahu namaku. Atau aku harus mengucapkannya biar kelihatan formal?" Wanita itu menatap Adil dekat.

Akh wanita ini rupanya menantang. Adil lantas lancar berujar. "Tak usah disebutkan. Aku tahu, namamu Ayesha. Urutan absenmu pas di bawah namaku."

Kali ini tawa Ayesha benar-benar keluar. "Kau membalas apa yang kukatakan tadi?"

Adil ikut tertawa. "Biar fair."

Lewat perkenalan itu, akhirnya mereka membincangkan banyak hal. Soal tempat tinggal, asal dan alasan-alasan mengapa mengambil jurusan yang sama. Jika tahu pribadi Ayesha se-welcome ini, Adil tak harus pakai acara deg-degan tadi sewaktu masuk perpustakaan. Tapi begitulah pria, meski sekekar-kekarnya tubuh atau segarang-garang tampang namun ketika dihadapkan hal seperti ini, pasti berdebar dalam mengawalinya.

"Kulihat kau dengan dekat Lintang," Adil bicara lagi. "Sangat cepat kalian akrab untuk ukuran masa kuliah yang baru tiga hari."

"Namanya juga wanita. Kurasa kami cocok dalam beberapa hal," jelas Ayesha. "Kau mengenalnya sebelum ini?"

"Ya, aku mengenalnya beberapa bulan lalu. Saat itu kami sama-sama mengisi formulir mahasiswa baru di depan kantor Biro Administrasi Fakultas. Kurasa dia wanita yang cukup baik."

"I think so. Kemarin dia sempat mengajakku untuk menyewa apartemen bersama. Dia perlu menghemat biaya hidup di sini. Tapi aku belum mengiyakan. Mungkin tawarannya akan kupikirkan lagi."

.....bersambung ke Chapter Fourteen

Author Note:

-Rasa-rasanya aku udah gak lancar update ya, kayak dulu. Ternyata ngantor bikin waktu nulis berkurang. Oke, sampai ketemu di Chapter 14.

Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang