Hampir pukul 23.00 sewaktu Fahad sampai di rumah.
Pria itu langsung masuk dapur. Dia butuh minum demi menghilangkan haus. Satu teguk masuk ke kerongkongan. Fahad memainkan gelas di tangan dan memandang kabur segala apa yang di depannya. Pria itu sepenuhnya sadar, selama berada dekat Lintang dan Adil, selama itu pula dia harus mengenyah perasaan. Setelah malam ini, entah situasi apa lagi yang akan dihadapi.
"Ayah dengar orangtua Adil bebas." —terdengar suara dari samping.
Fahad menoleh. Penglihatannya menangkap sosok Ayah, berdiri di sisi tembok arah masuk dapur. Wajahnya penuh interogasi.
"Kau dari rumah kawanmu itu lagi?" cecar Ayah.
Fahad diam.
Ayah maju perlahan. "Sudah berapa kali Ayah katakan, jauhi Adil!" Posisi Ayah sudah saling hadap dengan Fahad. "Apa yang kau harapkan dari pergaulanmu dengan keluarga itu? Kau ingin jadi pembunuh juga?"
"Pikiran Ayah terlalu picik!" Fahad buka suara. "Nama baik yang selalu Ayah nomor satukan. Apa yang salah dengan keluarga Adil? Ayah takut orang-orang tahu kalau anak Ayah punya relasi dengan keluarga pembunuh? Ayah takut hal itu mengganggu jabatan Ayah di perusahaan?"
"Kau—" Ayah berang.
"Kenapa, Yah?" nada suara Fahad meninggi.
"Kau menantang Ayah?" Emosi Ayah naik ke ubun-ubun. Beliau mengepalkan tangan.
"Aku tak akan menantang jika Ayah tak me—"
Bhuuuk! Belum selesai Fahad menyelesaikan omongannya, bogem mentah Ayah sudah lebih dulu mendarat di ujung bibirnya. Sontak Fahad terdorong ke belakang. Gelas di pegangannya jatuh. Pecah berserakan di lantai. "Ayo, bicara lagi!" bentak Ayah separuh berteriak.
Fahad meraba bibirnya. Astaga berdarah.
Ayah mengacungkan telunjuk di depan Fahad. "Jangan kau pikir fasilitas yang kau dapat datang begitu saja!" Ayah memperingatkan. "Kau tak akan hidup enak jika tidak dari kerja keras Ayah!"
Dengan menatap tajam, Fahad menahan perih. Ketika Ayah sudah tak lagi berkata-kata, pria itu langsung memutuskan angkat kaki dari dapur. Fahad tidak naik ke kamarnya. Dia malah ke ruang depan, dan keluar setelah membanting pintu.
Fahad menjangkau garasi dan masuk mobil. Raut kesal tergambar jelas di wajahnya.
"Arrrgh!" teriak Fahad sembari memukul setir. Pria itu yakin tadi adalah puncak kemarahan Ayah. Selama ini pertengkaran mereka tak pernah berujung dengan pemukulan. Tapi tadi? Sebelum kesalnya bertambah, pria itu menyalakan mesin dan kabur dari garasi.
Menjauh dari rumah adalah satu-satu pilihannya malam ini. Dengan mobil Fahad berkeliling, tak tentu arah. Berjam-jam. Melewati jalan-jalan Jamshed Town. Memutar-mutar jalan yang sama. Berkali-kali. Ketika arah mobilnya semakin tak jelas, Fahad menepi di salah satu tepi jalan. Pria itu menelungkup wajahnya di setir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)
General FictionSuatu masa, saat melupakan menjadi takdir yang tak kau sukai *** Adil tak pernah tahu, bahwa cinta akan menyapanya secepat itu. Tapi yang dia yakini, bahwa perempuan bernama Lintang bukanlah belahan jiwanya. Ayesha-lah wanita yang dia tunggu. Sa...