Chapter Ten [B]

5.2K 310 136
                                    

Rembulan malam ini sempurna menyebarkan cahayanya di atap-atap rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rembulan malam ini sempurna menyebarkan cahayanya di atap-atap rumah. Membuat jalan-jalan terang dan semarak. Pohon-pohon akan punya bayangan. Dan bintang-bintang jadi kalah terang di langit. Bulan selalu punya cara manis saat datang di akhir Mei. Adil yang berada di balkon rumah, duduk menekuk bertemankan susu cokelat hangat. Pria itu konsentrasi menulis di notes cokelat. Pengalaman tadi siang di apartemen sahabatnya membekas sampai detik ini.

Mungkin ini aneh, tapi sepertinya indra perasaku masih bisa merasakan enaknya masakan Lintang. Tiap kali menelan ludah, maka bumbu chicken tandoori seolah pencar di ujung-ujung lidah. Aku yakin sudah gosok gigi ketika mandi tadi. Sudah berkumur menggunakan obat kumur. Malah aku sudah meneguk setengah gelas susu cokelat, tapi tetap saja masakan Lintang begitu kuat menyisa di rongga mulut.

Apa yang melandaku?

Adil mengoyang-goyang pena dengan jari-jarinya, lalu tersenyum. Benar ini aneh.

***

"Kenapa harus ke sini?" tanya Fahad ketika turun dari mobil. Hari itu dia bareng Lintang meninggalkan kampus lebih awal, setelah sahabatnya itu memaksa pergi ke pertokoan di pusat kota.

Lintang yang turun duluan, menutup pintu mobil. "Aku ingin beli majalah," jelas Lintang. Wanita itu langsung mengerubung satu kios majalah. Kios tersebut berada di depan bangunan toko utama. Sekilas kios-kios majalah dan koran yang berjajar sepanjang trotoar toko, mirip kondisinya dengan pedagang kios yang ada di Indonesia. Lintang tahu persis. Mungkin mereka juga punya masalah yang sama, tidak memiliki tempat permanen, sehingga memilih berjualan di emperan toko.

"Tumben beli majalah?" Fahad penasaran. "Untuk tugas kuliah?"

"Bukan. Majalah untuk Adil." Lintang menunduk setelah menyapa si penjual. Wanita itu mulai menyortir beberapa majalah terbitan awal minggu. "Majalah olahraga," sambungnya kepada Fahad sambil membuka ujung-ujung buku, memastikan tanggal terbit majalah untuk awal Juni.

"O," Fahad berujar pendek.

Lintang mengambil majalah Sport Champs. Majalah itu bersampul biru, memuat wajah Shahid Afridi di sampul depan. Olahraga Kriket di Pakistan amat digemari dan termasuk cabang yang berprestasi, sehingga tak heran kalau hampir berbagai majalah olahraga di negara ini memuat pemain kriket sebagai daya jual, salah satunya Shahid Afridi. "Kamu mau baca juga? Biar sekalian kubeli."

"Tidak usah," tolak Fahad. "Aku bukan maniak bola kayak Adil."

Melihat isi dompet akhirnya Lintang membeli dua majalah lagi. Pilihannya jatuh kepada satu majalah terbitan luar negeri dan satu majalah lokal. Usai membayar dengan empat lembar Rupee Pakistan, Lintang dan Fahad meninggalkan emperan.

"Tapi itu terlalu banyak loh," Fahad berkomentar begitu mereka siaga lagi di dalam mobil. Pria itu melihat tumpukan majalah yang menggeletak di samping paha Lintang. Pria itu tahu, sejak dulu Lintang bisa melakukan segala hal demi Adil. Dia ingat, pernah sekali waktu, Lintang datang malam-malam memintanya untuk membawa Adil ke rumah sakit, setelah pria itu muntah-muntah, padahal Adil hanya mengalami mual biasa karena kekenyangan. Pernah juga, ketika Adil berhalangan mengerjakan penelitian di salah satu kantor swasta, wanita itu bersedia menjadi pengganti untuk meneliti. Dan yang paling baru, awal Mei kemarin, Lintang berhasil meminjam mobilnya demi membawa Adil ke Kemari Town untuk merayakan ulang tahunnya. Fahad berdeham, pria itu belum menyalakan mesin.

Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang