Diam membungkus Ayesha sepanjang perjalanan pulang. Pikirannya serupa kawat tipis yang bengkok sana-sini, karena terlalu menduga-duga perlakuan Adil kepada Lintang tadi. Sekiranya tiba di apartemen, alih-alih mengobrol dengan Lintang, wanita itu malah ke dapur dengan raut muka lesu. Dia membuka kulkas dan mengambil botol air minum.
Lintang yang sudah meletakkan barang belanjaan, mengikuti Ayesha. Dia berdiri tepat di batas antara ruang tengah dan dapur. Posisinya lurus dengan kulkas, sehingga bisa melihat jelas Ayesha. "Makanan tadi siang tinggal sedikit. Sepertinya kita harus masak," komentar Lintang. "Malam ini aku ingin masak masakan kampung halamanku. Ada yang ingin kau request?"
Ayesha meraih gelas dan menuangkan air. "Pide tadi membuatku kenyang. Aku tak ingin apa-apa selain istirahat sekarang."
Lintang menaikkan alis, mata membulat.
"Lagi pula aku capek. Hanya bantal yang kubutuhkan," Ayesha beralasan lagi. Dia benar-benar ingin menghindar dari Lintang.
"Benar kau tidak ingin mencicipi cah kangkung buatanku?" Lintang sedikit merayu. Cah kangkung adalah masakan kesukaan Ayesha.
Ayesha menggeleng, lalu meletakkan kembali botol ke dalam kulkas. Wanita itu hendak ke kamar. Dia melewati Lintang tanpa melihat wajah sahabatnya. Terserah apa yang dipikir Lintang nantinya, yang pasti saat ini kesendirian adalah pil paling baik untuknya melewatkan sisa hari ini.
***
"Kau masih berhubungan dengan anak pembunuh itu?"
Kalimat itu terdengar ketika kaki Fahad hampir sampai di batas pintu. Pria yang hendak meninggalkan rumah itu lalu menoleh ke arah belakang punggungnya. Dua meter dari posisinya tampak Ayah. Fahad lantas bersikap defensif. Meski mata Ayah dihalangi kacamata, namun pria itu mampu melihat ketidaksukaan di sana.
"Ayah kembali mendapat kabar dari pihak fakultas kalau nilai-nalaimu kembali jelek."
"Bisakah Ayah berhenti mengurusi kuliahku?"
"Dengan bertanya seperti itu, kau seolah-olah merasa semua biaya kuliahmu berasal dari hasil kantongmu!" Ayah sedikit meninggikan suara. "Ayah berhak tahu atas segala hal yang terjadi padamu. Termasuk nilai-nilaimu. Tapi sekarang sepertinya bukan nilaimu saja yang minus tapi sikapmu terhadap orangtua juga demikian. Apa hal ini yang kau pelajari dari Adil?"
Fahad mengepalkan kunci mobil yang berada di tangannya. Kuat-kuat. Mau sekali dia membalas kalimat-kalimat Ayah, namun urung dia lakukan. Kalau saja rasa hormat dalam dirinya hilang, mungkin kacamata Ayah sudah pecah kena bogem mentahnya. Fahad lalu membalikkan badan, dia merasa tak perlu meladeni Ayah lama-lama.
Menuruni anak tangga dekat garasi, suara Ayah terdengar lagi, "Jangan kau pikir Ayah tidak tahu kalau kau sering menemui Adil."
Fahad tidak peduli. Dia terus menggenjot kaki ke garasi. Menyalakan mesin mobil dan pergi meninggalkan halaman.
---
Satu kilometer menjauh dari rumah, Fahad bingung hendak ke mana dia membawa mobil. Omongan Ayah tadi benar-benar merusak mood. Dia tidak mungkin begitu saja menyingkirkan Adil dalam hidupnya, sebab pria itulah sohibnya sejak kecil. Musuh mudah dicari, namun sahabat sejati sangat sulit ditemukan. Ayah keliru, Adil bukanlah penyebab menurun nilai-nilainya, melainkan faktor kemampuannya sendiri.
Pada akhirnya setelah berputar-putar hampir setengah jam, Fahad memilih pergi ke Razi Road. Tak ada tujuan lain. Setidaknya bersama Adil, ada hal-hal lain yang bisa dilakukan selain memikirkan omongan Ayah.
Adil sudah mengenakan jersey Karachi FC ketika Fahad menemuinya di rumah. Sahabatnya itu berniat ke Lyari Town, menyaksikan laga lanjutan Pakistan National Championship 2019. Adil hanya membawa dompet sebagai bekal.
"Karena kau sudah di sini, bagaimana kalau kau ikut aku ke Lyari Town," tawar Adil. "Aku yakin babak delapan besar ini akan seru."
"Kebetulan aku lagi butuh hiburan." Fahad bersyukur dengan ajakan Adil. Toh selama menonton bola nanti, pikirannya akan fokus pada pertandingan. "Sudah lama aku tidak pergi ke stadion sejak insiden yang menimpamu di lapangan."
Tanpa membuang waktu, mereka bersegera. Fahad yang berada di belakang setir setia mendengarkan kalimat-kalimat Adil soal prediksi jalannya pertandingan yang dia baca dari majalah. Dia mulai mengoceh mengenai susunan pemain, taktik Karachi FC dan pemain mana saja yang berpeluang menciptakan gol nantinya.
"Kau harus tahu, banyak media memprediksi kalau Karachi FC akan menang mudah hari ini," Adil amat yakin.
"Kau selalu antusias kalau ngomongin bola," Fahad geleng-gelang.
Sudah setengah perjalanan mereka lalui. Rute menuju Lyari Town sedikit padat. Bus-bus carteran banyak yang searah. Sudah pasti penumpangnya adalah para suporter bola. Dari dalam bus terdengar nyanyian yang tidak asing di telinga Adil. Yel-yel fans fanatik Karachi FC. Adil mengeluarkan kepala ke jendela. Melihat bus di samping mobil Fahad. Hampir semua penumpang mengenakan jersey hijau seperti dirinya. Adil lalu ikut bernyanyi-nyanyi mengikuti seru suara dari dalam bus.
Puas nyanyi, Adil meminta pendapat Fahad. "Kalau menurut kamu apakah aku cocok dengan Lintang?"
Fahad mendeliknya sekali, lalu fokus lagi menyetir. Kenapa di saat dia ingin menghilangkan mumet di kepala karena Ayah, Adil malah mengajukan kalimat yang efeknya sama, membuat kepala pusing.
"Kurasa dia juga menaruh hati padaku," lanjut Adil. "Maaf, aku jadi terlalu percaya diri." Pria itu tertawa. "Kapan ya terakhir kita bicara soal cinta dan perempuan seperti ini?" tanya Adil separuh mengekeh.
"Entahlah aku lupa." Fahad meletakkan siku kanan ke jendela mobil, dia membiarkan tangan kirinya mengendalikan setir. Pria itu ikut mengekeh, berusaha tertawa. Namun dia tahu pasti perasaan hatinya tidak demikian.
"Aku berencana menyatakan perasaanku padanya."
Mendengar hal itu Fahad langsung menginjak rem. Spontan tubuh mereka menganjur ke depan. Adil mengoceh, "Kenapa rem mendadak?"
"Aku hanya kaget. Secepat itukah kau ingin mengutarakan isi hatimu pada Lintang?"
"Bukankah itu lebih baik?"
Fahad menyandarkan diri ke sandaran jok. "Kau sudah menentukan waktu untuk menembaknya?"
"Belum. Tapi kurasa dalam waktu dekat. Menunggu momen yang pas."
"Dalam acara makan malam?"
"Aku tak seromantis itu, Fahad."
Fahad mengetuk-ngetuk telunjuknya di tepi setir. Separuh jalan menuju People's Football Stadium, pria itu bungkam mulut. Satu-satunya hal yang dia lakukan hanyalah menatap jalan dan mengemudi secepat mungkin.
***
bersambung ke Chapter Fifteen [C]
Author Note:
Sebenarnya Chapter ini panjang banget. Tapi karena aku ngeditnya juga terbatas lantaran mesti ngantor, jadinya aku publish sebagian aja dulu. Nanti lanjutannya aku post weekend ya, di Chapter Fifteen [C].
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)
General FictionSuatu masa, saat melupakan menjadi takdir yang tak kau sukai *** Adil tak pernah tahu, bahwa cinta akan menyapanya secepat itu. Tapi yang dia yakini, bahwa perempuan bernama Lintang bukanlah belahan jiwanya. Ayesha-lah wanita yang dia tunggu. Sa...