Chapter Nineteen [B]

4.9K 91 72
                                    

Malam, pukul 22

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam, pukul 22.10

Sudah setengah jam Lintang berdiri di samping meja kamar. Pandangannya belum teralih dari maneken lilin yang memamerkan lehenga choli berwarna putih biru yang diterimanya tadi siang. Lintang mengakui setelan di depannya ini sepuluh kali lebih bagus dari semua lehenga choli koleksi Miss Neha di butik. Paduan warnanya memikat, meski untuk urusan warna Adil-lah yang jadi penentunya. Bordir yang menghiasi bagian bawah lehenga memberikan aksen tegas. Corak mirip kembang jadi pemanis di setiap senti kain. Bagian pinggang lehenga ditempel manik-manik berkilau. Sementara atasan choli dibuat agak panjang menutupi bagian pusar. Lengannya juga panjang. Ornamen bebatuan serta manik-manik juga dirangkai cantik di leher choli.

Pelan-pelan Lintang mendekati maneken lilin. Dia meraba dupatta yang tersangkut di kepala maneken. Merasakan sensasi licin dari permukaan kain tersebut. Enak di telapak tangan. Rupanya Miss Neha memilih bahan terbaik. Tangan Lintang lalu turun mengikis leher choli yang penuh bebatuan dan manik-manik. Susunannya benar-benar rapi dan elok. Huft, Lintang membuang napas dari mulut. Dia tahu pakaian ini akan melindungi tubuhnya besok, namun keindahan baju ini tak mampu menghilangkan bimbang dalam hatinya.

Tadi Adil menelepon, menanyakan keadaannya. Apa daya demi mendukung Adil, Lintang menjawab, "Segalanya baik." Siapa sangka tak begitu adanya. Dia tak tega mengendurkan semangat Adil yang sudah banyak meluangkan waktu dan tenaga dalam menyiapkan prosesi pertunangan mereka, dengan mengatakan; aku tak yakin dengan semua ini.

***

Besoknya, jam 17.00 sore.

Lintang masih berada di depan cermin.

Wanita itu mematut diri, memperhatikan hasil kerja perias suruhan Adil yang sejak tadi pagi menjadikannya sebagai bahan eksperimen. Kulit tangan dan kakinya kini penuh henna—berupa lukisan kembang yang bergaris-garis kelok. Perempuan-perempuan Pakistan wajib mendapat treatment ini kala menghadapi hari-hari penting seperti pertunangan atau pernikahan. Sebagai wanita Indonesia, ini kali pertama Lintang merasakan tubuhnya dilukis. Tak hanya kulit tangan, wajahnya saat ini pun sudah tebal oleh berbagai riasan dan dempulan bedak. Alisnya tadi dicoret-coret, dan bibirnya diberi gincu merah marun.

Lintang mencebik bibir, sebelum berpindah fokus ke meja. Di situ ponselnya bergetar. Nama Fahad muncul di layar. Sepertinya pria itu sudah menunggu di parkiran. Dua jam lagi dia memang sudah harus berada di Garden City, dan Fahad bertugas sebagai sopir yang akan mengantarnya. Lintang menjawab panggilan, "Iya, sebentar lagi aku turun." Hanya satu kalimat lalu menutup telepon.

Wanita itu kembali ke cermin. Dia mengamati lehenga choli yang sudah membungkus tubuh untuk terakhir kali. Meski pakaian ini padan di tubuh, Lintang tak menunjukkan reaksi antusias, air mukanya datar. Lambat-lambat rasa deg-degan menyanderanya. Dentumannya sembarang dan menjalar ke seluruh tubuh. Lintang butuh meremas-remas jari demi menormalkan detak jantung.

Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang