Bus terakhir menuju Jamshed Town sudah meninggalkan terminal. Lintang menjadi salah satu penumpangnya. Wanita itu menyendiri di deretan kursi paling belakang, dekat jendela. Lampu-lampu kota Gulshan Town di luar sana amat gemerlap, gedung-gedung tinggi bahkan mengeluarkan banyak daya pencahayaan di setiap sudut bangunan sampai rooftop, sehingga Gulshan Town begitu terang. Sementara di sudut-sudut jalan, orang-orang masih beraktivitas malam; pejalan kaki, tongkrongan, dan kafe-kafe yang belum sepi pengunjung. Lintang makin merapatkan kepala ke jendela. Wanita itu membenarkan letak syal di leher demi menghalau dingin yang ditiup udara malam lewat jendela bus.
Tadi, sebelum menaiki bus Lintang sempat membeli makanan dan air mineral. Lambungnya dari pagi memang hanya berisi kopi. Kadang sebuah urusan bisa melenyapkan rasa lapar, dan kita tidak menyadari hingga dengan sendirinya perut benar-benar berontak. Perjalanan ke Jamshed Town masih butuh puluhan menit lagi.
Lintang tiba di kawasan apartemen ketika jalan di sekitar sudah mulai sunyi. Jam digital di lobi apartemen menerangkan pukul satu dini hari. Lintang baru sadar, kalau dia banyak menghabiskan waktu di Gulshan Town. Wanita itu gegas menuju lift dan memencet angka tiga di dinding lift. Butuh beberapa menit sebelum akhirnya pintu lift terbuka. Lintang bergerak ke apartemen miliknya.
Wanita itu memasukkan anak kunci ke lubang pintu. Dan begitu pintu melebar, air mukanya mendadak berubah kaget. Lampu di ruang tengah belum mati, televisi masih menayangkan program acara, dan Ayesha santai di balik meja, sahabatnya itu berada di kursi yang posisinya sejajar pintu apartemen. Lintang menatap sekilas sahabatnya lalu melangkah masuk seolah tidak terjadi apa-apa. Dia sempat menyapa Ayesha, sebelum sahabatnya itu mematikan suara televisi.
"Kau dari mana saja seharian?" tanya Ayesha.
Lintang membuka syal dan meletakkannya di meja. "Aku tidak ke rumah sakit hari ini," jawab Lintang tak sesuai pertanyaan.
"Aku tidak menanyakan itu."
Lintang sudah memprediksi, bahwa sahabatnya ini akan sedemikian protektif.
"Lalu kau ke mana saja?" Ayesha kembali ke pertanyaan awal.
"Jalan," sahut Lintang pendek.
"Cuma karena jalan, kau tidak mengangkat teleponku?" selidik Ayesha kurang percaya. Ada alasan lain yang lebih masuk akal.
"Aku dari Gulshan Town!" bocor Lintang pada akhirnya.
"Gulshan Town?" Ayesha bangkit dari kursi. Kaget. "Jangan bilang kau menjenguk Paman Najaf."
"Ya, itulah yang kulakukan!"
"Oh...." Mimik kecewa muncul perlahan dari balik wajah Ayesha. "Dan kau memberitahukan keadaan Adil?"
"...," Lintang bisu.
"Oh Lintang, sudah kubilang jangan dulu memberitahukan keadaan Adil pada ayahnya," suara Ayesha agak tinggi. "Apakah kamu tidak mengerti psikologis seseorang yang berada di penjara? Bagaimana nantinya dengan Paman Najaf setelah mendengar berita Adil? Tolong, jangan menambah masalah baru!"
"Apa yang bisa dilakukan seorang wanita yang menjadi penyebab dari komanya Adil, selain harus jujur kepada ayahnya? Apakah aku harus berdiam diri di apartemen? Merahasiakan segalanya dari satu-satunya orang yang dimiliki Adil?"
"Tapi ini terlalu—"
Lintang menyela, "Kau tidak tahu bagaimana posisiku sekarang. Jadi tolong mengertilah."
"Aku melarangmu demi kebaikanmu. Rasa bersalah yang menghantuimu akan tetap terus menemani dirimu, jika kau tidak mengontrol emosi!" suara Ayesha tetap tinggi. "Lihat aku," perintah Ayesha. "Kau dalam posisi labil dan butuh orang untuk memantau dirimu. Dan aku merasa menjadi orang yang bertanggung jawab untuk membuatmu lebih rileks menghadapi masalah ini."
"Aku malas berdebat," Lintang mulai beranjak. "Lagian ini sudah pagi, dan aku capek. Aku ingin istirahat." Lintang bergerak beberapa senti meninggalkan meja.
Ayesha mengekori langkah Lintang. Dia hendak menghentikan sahabatnya, namun batal dia lakukan. Lintang yang sudah sedemikian ngotot ke kamar mungkin akan meledakkan emosi jika dia tetap mengajak adu argumen. Ayesha kembali ke meja dan membiarkan Lintang hilang di balik pintu kamarnya. Ayesha lantas mengambil remote televisi dan mengganti-ganti kanal—entah program apa yang ingin ditonton.
.....bersambung ke Chapter Four [A]
Author Note:
*Chapter Three semuanya sudah complete
*Sampai ketemu di Chapter Four
*Lagunya "Afghan - Jalan Terus" jadi backsound saat aku edit part ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)
General FictionSuatu masa, saat melupakan menjadi takdir yang tak kau sukai *** Adil tak pernah tahu, bahwa cinta akan menyapanya secepat itu. Tapi yang dia yakini, bahwa perempuan bernama Lintang bukanlah belahan jiwanya. Ayesha-lah wanita yang dia tunggu. Sa...