Jam-jam menuju final Pakistan National Championship 2019 datang lebih cepat.
Pahadal rasanya baru semalam Adil dilanda gelisah, tahu-tahu hari sudah siang. Berarti tiga jam dari sekarang, dia harus mengukir sejarah dalam hidupnya bersamaan dengan histori Karachi FC. Tentu pria tersebut telah menyusun sejumlah kata-kata yang hendak dia ucapkan di depan Lintang, meski minus kalung pemberian ibu. Setangkai mawar cukup jadi mahar untuk menembak Lintang.
Sore itu, rumah Adil jadi tempat berkumpul sebelum bertolak ke Lyari Town. Adil yang paling niat dandan ala suporter. Pria itu mengenakan jersey andalannya, syal bertuliskan nama klub, dan sebuah ikat kepala bertuliskan Karachi FC Forever. Hand band di tangannya pun berwarna hijau dan berlambang klub. Lintang dan Fahad hanya mengenakan kaus hijau bertuliskan Karachi FC, bawahannya jeans. Sekilas ketiganya serasi, berbeda dengan Ayesha yang sama sekali tak mendandani diri dengan satu pun atribut bola.
Adil kembali ke ruang tamu sebelum benar-benar mengunci pintu. Dia mengambil kotak panjang berbahan karton, kira-kira berukuran 30 senti.
"Itu apa?" tanya Fahad. Dia satu-satunya orang yang mengetahui rencana penembakan Adil.
"Ini hanya kotak persegi, tak penting," jawab Adil sembari mengedipkan sebelah mata memberi kode pada sahabatnya itu. "Ayo, jalan."
Mobil milik Fahad jadi kendaraan yang akan membawa mereka. Sebagai kendali setir, Fahad berada di belakang kemudi. Adil di jok sebelahnya. Sementara jok di belakang ditempati Lintang dan Ayesha.
"Aku belum pernah menonton bola langsung di stadion," Lintang berkomentar. "Dan ini untuk pertama kalinya."
"Kau harus tahu, menonton bola secara langsung itu seru, apalagi bareng-bareng. Atmosfernya berbeda. Teriakan pendukung tim bisa membuat adrenalinmu terpacu. Kau bahkan bisa tegang, saat lawan hendak melakukan gol ke tim kesayanganmu," Adil menjelaskan.
"Jika banyak orang yang teriak, itu akan bising."
"Di mana-mana begitu. Tak ada stadion yang menyediakan peredam suara, Lintang." Adil ingin tertawa. "Satu hal lagi, di stadion itu panas."
"Harusnya tadi aku bawa kipas," Lintang cemberut.
Mobil sudah jauh meninggalkan Razi Road. Ayesha memutuskan tak bersuara, dia takut Adil akan membocorkan pertemuan mereka di akhir semifinal lalu. Wanita itu hanya jadi pendengar setia omongan-omongan Adil yang berupaya menjawab segala hal yang keluar dari mulut Lintang. Apa pun, bahkan untuk pertanyaan sepele. Dengan sikap Adil seperti itu, pria cambang ini seolah menunjukkan kalau dia lebih connect dengan Lintang. Semangat Ayesha mulai ciut.
Sekian menit selanjutnya Ayesha asing sendiri. Percakapan antara Adil, Lintang dan Fahad benar-benar tak bisa dia nimbrung.
Sore ini, seluruh fanatik bola Karachi akan satu tujuan ke Lyari Town. Di samping faktor tuan rumah, kembalinya Karachi FC masuk final jadi aspek yang mendukung untuk tidak menyaksikan partai pamungkas ini di rumah. Jalur utama menuju Lyari Town macet parah. Segala jenis mobil, bus, dan kendaraan roda dua bejibun. Mobil Fahad terjebak di Jinnah Road. Mundur tak bisa, maju pun susah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)
General FictionSuatu masa, saat melupakan menjadi takdir yang tak kau sukai *** Adil tak pernah tahu, bahwa cinta akan menyapanya secepat itu. Tapi yang dia yakini, bahwa perempuan bernama Lintang bukanlah belahan jiwanya. Ayesha-lah wanita yang dia tunggu. Sa...