Tanpa terasa sebelas menit Adil dan Lintang terlibat obrolan. Tentu saja yang dominan bicara adalah Lintang. Adil hanya sesekali tersenyum, menyahut seperlunya dan sedikit bergurau agar tidak canggung.
Satu menit selanjutnya, Fahad tiba. Molor dari kesepakatan membuat pria itu tergesa-gesa ke ruang tengah. "Maaf aku terlambat," ujarnya sembari menyeringai. "Tadi, di rumah aku ada urusan dikit dengan ayahku," jelas Fahad.
Lintang dan Adil angguk-angguk.
"Kalian sudah saling mengobrol?" tanya Fahad. Seharusnya sejak tadi dialah yang menjadi 'moderator' untuk percakapan apa pun di sini.
"Sudah," jawab Adil.
"Ada percakapan rahasia?" Bola mata Fahad pura-pura mengintai.
"Kau pikir kita sedang menyembunyikan sesuatu?" Lintang menyikut pinggang Fahad. "Makanya jangan terlambat."
"Mana Ayesha?" Fahad baru engah.
"Belum datang. Katanya tadi singgah ke restoran," bocor Lintang. "Mungkin sebentar lagi tiba."
"O," seru Fahad pendek.
Lintang lalu ke dapur. Sering punya akses mudah ke rumah ini membuatnya leluasa melakukan apa pun. Lagi pula Adil tidak memprotes, toh dia juga harus terbiasa ada orang lain yang selalu menjadikan rumahnya seperti basecamp. Lintang cepat menyeduh kopi di empat cangkir. Di atas nampan dia membawa cangkir-cangkir ke ruang tengah. Fahad memberi usul untuk melanjutkan percakapan mereka di taman belakang. Mumpung cuaca di luar mendukung.
Mereka bertiga mengangkut kursi-kursi dan meja. Menatanya di taman, dan meletakkan cangkir-cangkir kopi.
Ketika senja benar-benar tenggelam, barulah Ayesha muncul. Wanita itu menenteng kantong ukuran besar. Isinya kotak-kotak makanan. Dia langsung ke taman belakang menemui tiga sahabatnya.
Sebelum menaruh kotak-kotak makanan, sorot mata Ayesha tertuju kepada Adil. Pria itu tampak nyaman di kursinya. Kali terakhir mereka bersua di rumah sakit, pria itu diselimuti kebingungan, namun malam ini kesan itu telah lenyap. Dari tempatnya berdiri, Ayesha bisa menangkap sinar mata Adil yang menyambut. "Oya, aku harus ke beberapa restoran untuk memilih makanan, makanya aku telat." Wanita itu meletakkan kotak makan di atas meja.
"Kenapa harus ke beberapa restoran?" tanya Fahad.
"Emm—" Ayesha melirik Lintang. "Biar menunya beragam!"
"Baguslah kalau begitu. Berarti kita akan makan enak malam ini," Fahad menelan ludah.
Malam itu bintang di langit Jamshed Town jenaka memancar. Udara bertiup rendah, sejuk menyentuh kulit. Lampu-lampu taman berpijar remang, menghadirkan suasana mesra. Sesekali terdengar bunyi jangkrik. Sepertinya alam sedang berkonspirasi menciptakan kondisi nyaman di taman belakang rumah Adil.
Ayesha dan Lintang menyiapkan makanan. Dua wanita itu bolak-balik dapur mengambil peralatan makan. Kotak-kotak yang dibawa Ayesha berisi aloo gobi, beef karahi, seekh kehbab, biryani dan pulao. Bola mata Adil sampai menonjol memperhatikan makanan-makanan yang kini sudah tersaji di piring. Baunya bahkan membuat Adil menjawil ujung hidungnya. Sebelum acara makan dimulai, Fahad secara singkat mengenalkan Ayesha kepada Adil. Pria itu anteng mendengar semua omongan Fahad. Agenda hari ini memang demikian, agar Adil bisa mengetahui lebih dekat seperti apa dua wanita yang masuk ke kehidupannya tiga tahun belakangan ini.
"Kalian harus tahu, dulu sewaktu sekolah dasar Adil pernah pipis di celana," Fahad membuka tawa ketika mereka mulai menyantap.
"Yang benar?" tanya Lintang antusias.
"Tolong jangan buat aku malu," Adil menatap Fahad tajam.
"Oke oke." Fahad mengangkat tangan seolah menyerah.
Sialnya Lintang dan Ayesha sudah tergelak duluan.
"Tapi waktu kita sekolah menengah Fahad masih sering pakai kolor pink," balas Adil. Dia ingat momen saat bareng teman-teman cowok sekelas mengganti pakaian olahraga.
"Argggh," Fahad geram. "Itu kan—" Pria itu menahan kalimat, sebab tiga sahabatnya sudah memegang perut sambil terkekeh.
Nyatanya malam itu tawa menjadi hal yang sering terdengar di taman belakang. Fahad punya seribu kelucuan yang bisa dia umbar di meja makan. Alhasil Adil yang lebih banyak mengunci mulut mau tak mau mengekeh, malah pria itu sesekali harus minum karena makanan mogok di tenggorokan. Sejauh ini, Adil seolah bisa menerima dua wanita yang menjadi sohibnya di Institute of Business Administration Karachi. Lintang dengan kesahajaan yang ramah, dan Ayesha yang baik hati membawakan makanan-makanan kesukaannya.
.....bersambung ke Chapter Six [D]
Author Note:
-Chapter ini lanjutan adegan Chapter Six [A]-Chapter ini didedikasikan buat yang arisan di lapak sebelah. Ada dua orang nanti aku pilih salah satu.
Vomment please!
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)
General FictionSuatu masa, saat melupakan menjadi takdir yang tak kau sukai *** Adil tak pernah tahu, bahwa cinta akan menyapanya secepat itu. Tapi yang dia yakini, bahwa perempuan bernama Lintang bukanlah belahan jiwanya. Ayesha-lah wanita yang dia tunggu. Sa...