Chapter Eleven [A]

4.9K 301 79
                                    

Seorang pria mengenakan seragam biru tua lengkap dengan topi, mendatangi rumah bernomor 9A di Razi Road

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seorang pria mengenakan seragam biru tua lengkap dengan topi, mendatangi rumah bernomor 9A di Razi Road. Pria berperawakan tambun itu membawa amplop besar. Adil menyambutnya. Ternyata pria gemuk ini, tukang pos. Dia mengantar hasil pemeriksaan kesehatan Adil dari Omi Hospital.

Usai pengantar surat pergi, Adil membuka amplop. Ada sekian kertas bertuliskan data-data hasil laporan pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan psikologis—tes yang dia jalani pasca siuman. Pria itu mengamati satu per satu kertas, jujur Adil kurang paham beberapa penjelasan dan tabel-tabel hasil laporan, dia hanya tertarik dengan kesimpulan yang berada di akhir hasil pemeriksaan. Sejauh ini pertanda baik. Dari amplop yang sama, Adil mengeluarkan foto-foto rontgen. Dalam foto-foto tersebut, ada beberapa bagian yang ditandai dokter dengan spidol merah. Tampaknya itu adalah bagian-bagian yang mengalami kerusakan. Adil meraba kepalanya, dia menekan-nekan sedikit memastikan tempat yang ditandai dokter. Rasanya tak sakit lagi. Terakhir Adil mengamati hasil magnetic resonance imaging. Foto-foto yang dihasilkan benar-benar valid mencitrakan bagian-bagian kepalanya, lebih detail dari rontgen, termasuk pemetaan saraf. Amnesia retrograde memang termasuk masalah serius, sehingga tak heran untuk mendiagnosis penyakit ini, banyak tahapan yang harus dilalui Adil. Dulu, awal diberi tahu oleh dokter tentang penyakit yang dialami, dunia rasanya terbalik. Tapi saat ini, Adil sudah legawa dan merasa lebih baik, meski harus rela ingatannya di lima tahun ke belakang lenyap.

Keesokan harinya, di minggu terakhir bulan Juni, Adil berinisiatif mengajak Lintang menemui Dokter Zafar. Pria itu ingin tahu lebih lanjut soal laporan kesehatan yang mampir ke rumah, sekaligus melakukan pemeriksaan lagi. Sebagai penderita, dia harus mengerti sejauh mana perkembangan amnesia yang menimpanya.

Adil dan Lintang melewati lorong-lorong rumah sakit.

"Aku jadi ingat hari-hari dimana kami semua cemas menunggumu siuman," Lintang berkomentar. Wanita itu menatap dinding-dinding rumah sakit yang menjulang. "Itu waktu-waktu yang menegangkan. Aku, Ayesha dan Fahad harus bergantian menjengukmu."

"Aku sangat bersyukur, memiliki sahabat-sahabat seperti kalian." Adil menggulung lengan kemeja hingga siku. "Tiba-tiba aku ingat kata-kata yang pernah diucapkan ibu saat aku bercerita punya banyak kawan baru di sekolah dasar, bahwa, sahabat adalah mereka yang akan berada di sampingmu saat kau terjatuh dan terluka. Dan kurasa kau, Fahad dan Ayesha adalah orang-orang itu."

"Tak mudah menemukan orang baik di dunia ini, Adil." Lintang berusaha menyejajarkan langkah dengan Adil. "Kadang motivasi yang akan membedakan seseorang itu tulus atau tidak, termasuk persahabatan."

Sedikit lagi mereka sampai di depan ruang Dokter Zafar. Adil bergerak ke depan saat jangkauan terakhir mendekati pintu. Pria itu mengetuk, pelan. Dari dalam ruangan, suara dokter terdengar menyilakan.

Kompak Adil dan Lintang masuk.

Dokter Zafar yang berada di kursinya langsung cengang. Ternyata tamunya pagi ini adalah pasien yang ditanganinya Maret lalu, di sampingnya ada Lintang—salah satu wanita yang sering datang menjenguk Adil. Dokter Zafar membuka keramahan dengan salam. Beliau menyudikan Lintang dan Adil menempati kursi yang berhadapan dengan tempat duduknya. Mereka dipisahkan meja cokelat.

Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang