Nyatanya Lintang dan Ayesha harus ekstra sabar untuk dapat bertemu Adil. Selama dua minggu belakangan larangan Fahad tetap berlanjut, ini semata-mata agar masa adaptasi Adil mendukung serapan informasi di kepalanya. Jadi yang bisa dilakukan dua wanita tersebut hanya menerima kabar terbaru dari Fahad. Padahal jika ingin egois keduanya bisa saja langsung menyambangi rumah Adil.
Pernah sekali waktu Lintang protes ketika Fahad datang ke apartemen, "Berapa lama lagi kita harus menunggu," kesabaran Lintang nyaris habis.
"Jangan seperti anak kecil." Fahad berkacak pinggang. "Adil butuh penyesuaian lebih, lagian aku sudah menceritakan soal kalian kepada Adil kok."
"Lalu apa reaksinya?" tanya Lintang.
"Datar-datar saja," Fahad menaikkan bahu. Reaksi Adil memang demikian, toh apa yang dia tahu dari Lintang dan Ayesha? Tak ada! Semua telah lenyap di kepala. Tugas Fahad-lah yang bercerita sebab dua wanita ini bisa jadi bagian penting dalam menguatkan ingatan Adil. "Kalau begitu, lusa kita atur waktu agar kalian bisa bertemu Adil."
"Horeee!" Ayesha yang sejak tadi diam, bersorak. "Harusnya kalimat itu keluar dari tadi," selorohnya pada Fahad.
Fahad geleng-geleng. Pria tersebut juga menuturkan perkembangan Adil yang signifikan. Di rumah Adil sudah bisa memahami kalau dia bukan remaja lagi. Sahabatnya itu mulai luwes diajak tertawa maupun bergurau. Dan perkembangan ini jelas-jelas memberikan tanda kalau Adil siap menerima Lintang dan Ayesha.
Dua hari setelah obrolan itu, mereka sepakat mengunjungi Adil. Syaratnya jam 5 sore mereka sudah berada di Razi Road. Agar pertemuan tersebut berkesan Ayesha berinisiatif ke restoran Punjab, membeli sejumlah menu yang disukai Adil. Menu-menu ini bisa jadi antaran yang bisa mencairkan suasana. Lagi pula jadwal kuliah yang padat tidak mendukung Ayesha untuk menghabiskan waktu di dapur, toh Lintang juga setuju. Sungguh repot kalau pulang kuliah mesti harus menguras tenaga lagi di dapur.
Jam digital di ponsel Lintang menunjukkan pukul 16.35. Berarti tinggal 25 menit lagi sisa waktu sesuai kesepakatan. Lintang memutar-mutar ponsel. Belum ada kabar dari Ayesha. Sementara Fahad memang tidak menjemput ke apartemen, tadi pagi pria itu mengabarkan. Lintang menyimpan ponsel di saku dan mematut di depan cermin. Sekali lagi dia mengamati pakaian yang membaluti tubuhnya. Baju lengan panjang yang dilapisi sweter tipis, serta rok lebar berwarna cokelat. Tadi, Lintang nyaris butuh waktu dua jam sebelum final mengenakan tiga item ini. Jujur untuk bertemu Adil sore ini, Lintang berusaha sedikit lebih perfect.
Kabar yang tak kunjung datang dari Ayesha memaksa Lintang bergegas dari apartemen. Bisa jadi Ayesha langsung ke rumah Adil karena tak mau repot bolak-balik apartemen. Lintang menumpangi taksi jalur cepat agar sampai tepat waktu di Razi Road.
Empat menit sebelum jam lima Lintang tiba di rumah Adil. Dia masih harus menunggu Fahad dan Ayesha di halaman. Ganjil masuk sendirian. Wanita itu sesekali menengok jalan raya, berharap ada mobil menepi dan turun salah satu di antara Fahad atau Ayesha. Sayang setelah lima belas menit menunggu, tak ada tanda-tanda kedatangan dua sahabatnya, yang muncul malah sebuah pesan singkat di layar ponselnya. Dari Fahad.
Aku masih dalam perjalanan.
Lintang menutup ponsel tanpa membalas. Oke, berarti dia tetap harus menanti. Tiga menit berlalu, tujuh menit berjalan, sebelas menit berganti. Lintang membunyikan buku-buku jari. Di menit ke lima belas, rupanya pertahanan tunggu Lintang mengempis. Mau tak mau dia harus masuk ke dalam. Lucu jika dia jadi pusat perhatian lantaran mondar-mandir di depan rumah bernomor 9A.
Wanita itu menjangkau pintu. Sesaat getaran dalam jantungnya tak menentu. Lintang menghela napas lalu mengetuk. Kepalan tangannya sempat bergetar. Tak berapa lama pintu melebar. Dan..., Lintang tercekat! Kini di hadapannya hadir Adil, sosok yang menjadi rindu selama dua minggu belakangan. Pria itu mendelik Lintang tanpa ekspresi. Lintang kemudian berusaha menguasai diri. Agar bisa menjangkau wajah Adil, wanita itu separuh mendongak. Tapi tetap saja yang paling jelas kelihatan adalah cambang Adil yang kini mulai lebat.
"Hai," ucap Lintang pendek, bingung harus berkata apa.
Adil melongok ke teras, mencari dua orang lagi yang memang harus jadi tamunya petang ini. "Sendirian?" tanya Adil. Pria tersebut memang sudah tahu bahwa sore ini Fahad akan membawa Lintang dan Ayesha. Adil meneliti wanita di hadapannya. Parasnya yang khas Asia Tenggara, membuat Adil mudah menebak kalau wanita ini adalah Lintang, sesuai dengan cerita Fahad.
"Ya, aku sendirian. Yang lain belum datang," jawab Lintang kaku.
"Masuklah," tawar Adil.
Mereka beriringan ke ruang tengah. Adil menyilakan Lintang menempati kursi yang menghadap televisi. Lintang menuruti. Tak ada pembicaraan setelah itu. Lintang mengetuk-ngetuk meja. Sementara Adil mengganti-ganti kanal televisi. Berlangsung beberapa menit. Duh, Lintang jadi serba tak enak; kalau diam berarti tak ada interaksi, kalau mengobrol takut Adil nanti akan banyak bingung. Seharusnya Fahad atau Ayesha ada di sini untuk merenggangkan suasana.
Beberapa hari belakangan keinginan Lintang bertemu begitu menggebu. Nyatanya ketika kini berhadapan dengan Adil, wanita itu sulit membuka percakapan. Adil yang berada di sampingnya jauh berbeda dengan pria yang dikenalnya sebulan lalu.
Adil meletakkan remote dan fokus ke arah Lintang. "Aku tak tahu harus mengobrol apa," suara Adil tercetus. "Apa kita perlu kenalan sekali lagi?" tukas Adil dengan sedikit gurauan.
"E e—"
"Anggap saja begitu," lanjut Adil. Pria itu mengulurkan tangan.
Lintang melirik uluran tangan Adil, mendadak ingatan menggiringnya ke sebuah pertemuan di depan ruang administrasi fakultas, tiga tahun silam. Waktu itu, untuk pertama kali dia melihat Adil. Segalanya masih terekam jelas di kepala; bagaimana pria itu datang menyerobot barisan antre di loket pengembalian aplikasi, bagaimana Adil membuka percakapan dengannya serta bagaimana dia terkesan dengan cara mereka berkenalan.
"Hei, kok bengong?" Adil membuyarkan lamunan Lintang. Pria itu sudah menarik kembali tangannya.
"Eh iya," sadar Lintang. "Untuk memulai semua dari awal, sepertinya kita memang harus kenalan lagi," Lintang menekan kata lagi. Sekarang bagian Lintang yang mengulurkan tangan.
Adil menjabat tangan Lintang. "Namaku, Adil. Adil Meerza."
"Aku Lintang Angguni," balas Lintang.
Adil tertawa. Lintang ikutan tertawa, malu-malu.
"Kita seperti anak kecil," komentar Adil usai taut tangan mereka lepas. "Tapi kurasa ini baik untuk diriku."
Tanpa ragu-ragu Lintang menjabarkan identitasnya lebih banyak. Wanita itu lancar menuturkan hobi dan kegemarannya, makanan favorit, film kesukaan, serta hal-hal yang paling dia benci—semua itu pernah Lintang ceritakan, mungkin Adil 'normal' cuma ingat sebagian. Lintang juga menjelaskan alasannya hijrah ke Pakistan dan sedikit membeberkan kehidupannya dulu di Indonesia.
"Berarti kau harus mengajakku ke Indonesia," ujar Adil ingin melucu.
Lintang hanya tertawa mendengar gurauan tersebut. Dia yakin, Adil tidak sungguh-sungguh mengatakannya.
.....bersambung ke Chapter Six [B]
Author Note:
-Chapter ini sebenarnya panjang, tapi part selanjutnya aku post di Chapter tersendiri, soalnya waktu ngedit juga terbatas.
-Drama "Amnesia" akan dimulai dari Chapter ini.
Yang komennya kece aku dedikasikan chapter ini untuk dia.
Please silent readers vomment!
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)
General FictionSuatu masa, saat melupakan menjadi takdir yang tak kau sukai *** Adil tak pernah tahu, bahwa cinta akan menyapanya secepat itu. Tapi yang dia yakini, bahwa perempuan bernama Lintang bukanlah belahan jiwanya. Ayesha-lah wanita yang dia tunggu. Sa...