1. Susan, Susan

21.7K 1.2K 40
                                    

Susan mengikat rambutnya tinggi agar tidak menghalangi penglihatannya. Kelas terasa begitu tenang, ditambah guru yang berada di depan kelas sedang menulis kosa kata bahasa Jerman.

"Hari ini kita sampai disini, ibu masih ada urusan." Bu Ulfa guru Jerman yang katanya paling sexy, memang dari semua guru yang mengajar di kelas Bahasa dia adalah guru yang paling muda.

Setelah Bu Ulfa keluar kelas mendadak ramai lagi, terutama di lingkaran iblis. Para anak cowok itu langsung bermain. Ada yang bermain hape, ada yang mendengarkan lagu.

"Susan, Susan, Susan, kalo besar mau jadi apa? Aku kepengen pintar biar jadi dokter---"

"Verga!" Susan berseru dengan nada jengkel ke Verga yang bernyanyi mengunakan gitar dengan nada yang acak-acakan.

"Apa Susan?"

"Dasar onta." Susan menatap Verga sinis.

"Ganteng gini masa di bilang onta? Mata lo katarak ya?" Verga bertanya dengan wajah yang tampak polos. Susan mendengus.

"Udah lah, Sus. Lo nggak usah dengarkan perkataan anak-anak yang ada di lingkaran iblis, lo kayak nggak tau aja kelakuan Verga." Sheva duduk di kursinya yang ada di samping Susan. "Lo ladeni dia sama aja lo kayak ladeni burung beo."

"Lo jahat Va, manggil gue beo." Di belakang Verga mengecutkan bibirnya yang sama sekali tidak ada lucunya, malah membuat jijik.

Kring!

Perdebatan itu terhenti karena hal yang berbunyi. Susan segera merapikan semua peralatannya. Sedangkan banyak anak yang sudah berjalan keluar, kantin akan sangat cepat ramai terutama pada jam awal istirahat.

"Kantin nggak?" Sheva menoleh ke Susan.

"Enggak, gue mau ke perpus. Mau minjam Wi-fi." Susan menyengir, sedangkan Sheva hanya menggeleng. Temannya yang satu itu memang adalah pemburu Wi-fi, siapa sih yang nggak suka gratis?

"Oke, mau titip atau apa gitu?" Susan menggeleng. "Kalo gitu gue ke kantin dulu, bye."

Setelah Sheva keluar, dan menyisakan Susan.

"Lo lihat Verga nggak?" Cewek bergaya centil itu bertanya dengan tangan yang memilin rambut panjangnya yang di letakan di bahu kanannya. Susan melirik sedikit dan menggeleng. Tidak ingin mengeluarkan tenaga hanya untuk menjawab pertanyaan cewek itu. Tanpa mengucapkan terima kasih atau semacamnya cewek itu melengos begitu saja.

Susan berjalan setelah mengambil ponsel miliknya yang ada dibawah laci. Koridor lumayan ramai untuk jam istirahat, Susan memasuki perpustakaan sekolahnya yang lumayan luas. Setelah mengisi buku tamu Susan menelusuri rak-rak buku yang menjulang. Mengambil asal buku, ia ke perpustakaan untuk Wi-fi bukan membaca.

Setelah mencari tempat yang pas, yaitu di bagian pojok Susan segera menyalakan ponselnya dan mulai membuka instagram dan beberapa aplikasi sosial yang lain Susan mengedarkan pandangannya ke penjuru perpustakaan. Matanya terhenti di dua meja yang ada di depannya.

Verga.

Cowok itu duduk bersama seorang cewek yang bisa dikatakan cantik, cewek itu bersandar di bahu Verga, sedangkan cowok itu melingkarkan tangannya di pinggang cewek itu.

"Dasar PHO." Gumam Susan pelan. Predikat itu memang begitu melekat pada Verga. Ia adalah perusak hubungan orang, ia sangat suka merusak hubungan orang. Katanya sih tantangannya lebih terasa kalau merebut pacar orang. Dan itu adalah alasan ter-aneh dan bodoh bagi Susan.

Kring!

Susan segera berdiri dan mengembalikan buku yang diambilnya ke dalam rak. Dengan langkah besar Susan melangkah masuk kedalam kelas. Untung bagi Susan, guru yang mengajar belum datang.

"Lo putus sama Ema?" Suara Rizky terdengar bagai pekik yang tertahan.

Mengangguk dengan santai Verga mengiyakan.

"Masa lo putusin cewek sesempurna Ema? Dia cantik banget padahal." Ricky mencebikan bibirnya. "Cewek lo tipenya gimana sih emang?"

Verga nampak menimang. "Nggak perlu cantik, cukup pengertian." Susan tersentak saat Verga menatapnya. Tapi cepat-cepat Susan mengalihkan pandangannya ke tempat lain.

"Selamat siang, semua buka buku kalian halaman 56. Kerjakan di buku tugas." Sapa saja Bu Era. Guru yang paling sering memberikan tugas. Dan selalu saja bertumpuk dan sangat banyak.

***

Susan dengan wajah yang lelah menghempaskan badannya ke sofa cokelat yang muat untuk tiga orang itu. Tas masih ada di punggungnya, sepatu juga masih ada di kakinya.

"Kak lo jorok banget sih? Baru pulang bukanya ganti baju malah tiduran disini." Brian, adik Susan memprotes apa yang dilakukan Kakaknya.

"Diam, gue capek." Gumam Susan dengan posisi yang tidak berubah.

"Kakak ganti baju dulu, baru tidur." Tegur Jeni-Mama Susan--ke anak gadisnya itu.

"Capek Ma," keluh Susan. "Susan, lagi lelah hati dan pikiran. Jangan ganggu dulu."

Brian memutar bola matanya. "Kak, lo cewek tapi nggak tau sopan banget."

"Dek, lo cowok tapi cerewet banget." Balas Susan dengan nada yang sama. "Bawel." Sambung Susan lagi. Brian hendak protes tapi Susan dengan cepat merubah posisinya menjadi duduk, meletakan tas dan membuka sepatunya.

"Puas adik ku, sayang?" Nada bicara Susan di buat semanis mungkin.

Brian mendengus.

Susan menghiraukan dengusan kesal adiknya itu.

Kamar Susan memang bukan dalam ukuran besar, bukan juga ukuran kecil. Hanya sedang, dengan tempat tidur, meja belajar dan rak buku yang melekat di tembok. Tempat kumpulan novel kesukaannya. Ia bukan penyuka novel yang bergenre romance, ia lebih menyukai novel dengan genre fantasi, hictorial fiction, atau misteri. Ia lebih menyukai sesuatu yang memiliki tantangan. Karena ia yakin jika ia membaca novel yang bergenre romance, ia akan terpengaruh pada Sheva yang menyukai hal-hal seperti itu. Apalagi cerita itu mengangkut kakak kelas dan adik kelas, atau hot CEO yang menikah dengan anak Sma. Hal-hal yang nampak tidak mungkin, tapi Sheva sangat menyukainya. Pernah sekali Susan membaca salah satu novel Sheva, sebenarnya Susan menyukai cerita itu hanya saja ia tidak terlalu suka pada cerita yang happy ending, dia lebih suka pada cerita sad ending. Karena cerita sad ending lebih teringat.

Susan mengganti bajunya dengan yang lebih santai, celana kain sebatas lutut dan baju oblong berwarna putih.

"Kak," Brian tanpa mengetuk masuk, juga tanpa permisi duduk di pinggir kasur Susan.

"Hm?" Susan bergumam menjawab.

"Lo punya line atau WA Kak Verga nggak?" Susan yang tadinya sedang membaca novel dengan cepat menoleh.

"Buat apaan?"

"Gue mau belajar main basket sama dia, 'kan dia kapten basket." Susan mendengus.

"Nggak ada. Minta sendiri ke orangnya." Ketus Susan.

"Elo teman sekelasnya, kan? Masa lo nggak punya."

Susan melirik Brian dengan sinis. "Bodo."

"Kak," Brian mulai merengek.

"Gue nggak mau Brian!"

"Gue bikinkan kacang rebus sama kacang goreng yang banyak deh, sekalian gue beliin bubur kacang hijau di dekat sekolah gue." Susan menoleh dengan wajah sumringah.

"Jangan bohong."

"Gue nggak bakalan bohong. Lo pulang sekolah nanti gue udah rebus kacang kesukaan lo satu baskom, kacang goreng lo satu toples, bibir lo 3 bungkus." Brian berdecak.

"Oke." Putus Susan. Gadis itu memang sangat menyukai kacang. Kacang tanah, kacang hijau, kacang merah ataupun almond gadis itu penyuka segala jenis kacang. Ia juga tidak pernah takut jerawatan atau sejenisnya karena kacang. Yang penting ia bisa memakan apa yang disukainya. Jerawat itu soal belakang.
. . .

Ada yang suka cerita ini nggak ya?

VersusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang