40. Tak Lagi Sama

7.4K 627 31
                                    

Hari kepulangan mereka adalah hari ini. Susan telah siap dengan koper dan sebuah tas yang terlihat sangat berisi.

Sheva tersenyum lebar melihat hasil karyanya, dia mengikat rambut panjang Susan seperti gadis cina. Rambut yang di bentuk bulat di kedua sisi, tidak lupa membiarkan sedikit poni di dahi Susan.

"Cantik banget!" Sheva kagum melihat hasil karyanya. "Kak Arga bakal makin jatuh cinta sama lo."

"Apaan sih?" Susan mendelik, sedikit memajukan dirinya ke arah kaca. Memperhatikan rambutnya yang di cepol kanan dan kiri. "Lucu juga."

Sheva tersenyum jumawa. "Gue gitu loh."

Susan berdecak, agak menyesal memuji temannya. "Udah ayo. Nanti kita ketinggalan pesawat lagi."

Sheva mengangguk, menyapukan lip gloss tipis pada bibirnya sebelum meminta roomboy untuk membawa barang-barang mereka ke dalam mobil.

"Ada cina-cina." Rizky tertawa melihat rambut Susan. "Tapi cantik sih." Ucapan itu mengundang delikan tajam Sheva. "Tapi tetap pacar gue nomor satu." Rizky mengacak pelan rambut Sheva.

Sheva mengecutkan bibirnya. "Apaan sih?"

Rizky tertawa. "Kamu nggak usah gitu. Muka kamu merah tau." Sheva menutup kedua pipinya yang memerah.

Susan geleng kepala, cewek itu mencari dimana keberadaan Verga dan Lona, serta ketiga kakak kelasnya.

"Ada yang berantem!" Seorang resepsionis perempuan terlihat histeris.

Susan mengalihkan pandangannya, langsung bertemu dengan adegan berkelahi antara Verga dan Bara.

Verga mencengkeram baju Bara, sedangkan Bara hanya diam saja saat Verga memukulinya.

Beberapa satpam datang dan langsung menahan Verga yang terlihat emosi. Sedangkan Rizky dan Brian dengan sigap membantu Bara yang terbaring di lantai lobi hotel.

"Ver, lo apaan sih?" Sheva menatap Verga dengan tatapan tajam.

"Dia sentuh Lona! Anjing lo!" Verga memberontak, mencoba melepaskan diri dari dua satpam yang menahannya. Dan berhasil, kedua satpam itu bahkan hampir jatuh karena menahan tenaga Verga.

Verga hendak melayangkan lagi pukulan ke wajah Bara, hal itu akan terjadi jika saja Susan tidak berdiri di depan Bara.

"Minggir." Desis Verga tajam.

"Nggak usah emosi, lo manusia, kan? Bukan hewan yang pake otot." Susan menatap tajam Verga yang terlihat mengepalkan kedua tangannya.

"Lo nggak tau apa-apa!"

"Gue tau," Verga bergeming. "Kenapa? Lo takut kalo Lona nggak bakal jadi milik lo karena anak Lona bukan punya lo? Hm? Atau lo takut Kak Bara rebut Lona dari lo?"

Rahang Verga mengetat. "Lo diam aja, lo nggak tau apa-apa!"

"Gue memang nggak tau apa-apa. Tapi, satu hal yang gue tau. Lo bukan Ayah dari anaknya Lona dan nggak akan pernah. Itu yang buat lo nggak mau tes DNA anaknya Lona, lo takut. Lo takut, karena Lona nggak bakal pilih lo!"

Plak!

Wajah Susan menoleh ke samping dengan ikatan rambut yang di buat oleh Sheva yang terlepas.

Arga, melihat kejadian itu langsung memeluk Susan. Cowok itu menatap tajam Verga.

"Pecundang," Verga seakan sadar akan apa yang ia lakukan. Wajah tidak percaya Rizky dan raut wajah kecewa dari Sheva. "Lo cowok bukan? Berani kok sama perempuan!"

Dada Susan sesak. Begini kah ia di mata Verga? Bahkan tangan cowok itu dengan sangat mudahnya melayang padanya. Seakan, dia memang tidak ada artinya.

Air mata Susan mengalir, rasa panas dan pedih pada hatinya membuat air matanya mengalir deras. Ia meremas baju Arga erat.

Arga menahan Susan pada dadanya, membiarkan cewek itu melepaskan tangisannya.

"Mulai sekarang, lo jangan dekat-dekat Susan lagi." Arga menunjuk Verga dengan tatapan tajam penuh kemarahan. "Lo beruntung, gue masih punya akal waras. Kalo nggak gue udah lakukan hal yang sama ke cewek lo itu."

Arga menarik Susan yang masih dalam pelukannya untuk berjalan. "Udah," Arga mengusap bahu Susan. "Cowok kayak gitu jangan di perjuangkan, buang tenaga."

Verga membeku. Rasanya bagai ada sesuatu yang menyayat hatinya. Susan menangis di pelukan orang lain, dan yang membuat Susan menangis adalah dirinya.

Brian maju ke hadapan Verga, menatap tajam orang yang pernah mengajarinya cara bermain basket. "Gue kecewa sama lo. Gue percayakan Kakak gue ke elo dan lo sakiti. Setelah ini gue nggak bakal ijinkan lo dekat dengan Kakak gue lagi, menjauh. Gue nggak sudi Kakak gue sama cowok banci kayak lo. Gue berusaha buat Kakak gue selalu aman, tapi elo dengan mudahnya buat Kakak gue nangis," Brian tersenyum sinis. "Semoga pilihan lo benar, karena nggak ada kesempatan kedua bagi gue." Brian berbalik, berjalan mengejar Arga dan Susan.

"Bro, gue udah bilang jangan pernah sakiti cewek. Karma itu ada, bisa aja lo yang kena. Tapi bisa aja anak lo yang kena di masa depan." Rizky menepuk bahu Verga. "Lo terlalu gegabah."

Plak!

"Lo nggak punya hati, Ver. Gue nggak tau kenapa lo bisa sejahat ini." Sheva geleng kepala. "Gue bukan bela Susan, tapi lo terlalu berlebihan ke cewek lo itu. Itu bukan cinta, tapi obsesi. Lo harus bisa bedakan itu."

Verga tetap diam. Sedangkan Bara yang tadinya terkapar di lantai sudah berdiri kembali dengan senyuman mengejek. "Sepertinya gue nggak perlu minta bantuan Susan untuk buat lo hancur. Lo menghancurkan sendiri hidup lo." Bara menyeringai. "Kalau Lona memang pilih lo, gue nggak masalah. Tapi, gue harap lo nggak pakai kekerasan kalau kalian lagi berantem." Bara meringis, berbalik dengan agak terseok. Rizky membantu Bara berjalan, sedangkan dua teman Bara sudah berada di mobil. Keduanya memang di minta oleh Bara untuk tidak ikut campur. Mereka sudah mendapatkan apa yang mereka perlu, jadi hanya tinggal mengetes saja.

Sedangkan Susan, masih saja menangis di pelukan Arga, perjalanan menuju bandara itu di landa hening. Arga terus saja berusaha membuat Susan berhenti menangis, akhirnya setelah lima menit berselang cewek itu menghentikan tangisannya.

"Sudah." Arga menyingkirkan rambut yang menutupi beberapa bagian wajah Susan. "Jangan buang air mata untuk hal nggak penting."

Susan sesenggukan, tapi cewek itu mengangguk. Mengusap air mata yang masih menggenang.

Arga tersenyum. "Udah ya." Dia mengusap bahu Susan, cewek itu menarik nafas dan berusaha untuk tidak menangis lagi. Tatapan Arga menajam melihat bekas tamparan Verga yang masih terlihat memerah di pipi gadis itu. "Nanti kasih salep supaya nggak lebam."

Susan mengangguk. "Makasih, Kak."

Arga tersenyum. "Nggak masalah. Tapi gue sarankan lo jangan dekat-dekat Verga lagi."

Susan mengangguk. "Gue emang nggak mau lagi dekat dia."

Arga tersenyum, mengusap rambut Susan membuat gadis itu mendongak. "Tunggu gue ya, gue di terima di UI. Jadi kita bisa sering ketemu."

Susan mengangguk pelan. "Kalo gue nggak bisa balas perasan lo gimana, Kak. Gue takut, nggak bisa."

Arga tersenyum. "Kalo memang ya jangan di paksa. Gue oke-oke aja kok."

. . .

Cowok model Verga memang harus di buang ke neraka. Setuju, nggak?

Selamat natal bagi yang merayakan!!!

Jangan lupa komen, siapa tau aku update cepat lagi.

VersusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang