Susan sampai di ruang Jurnalis tepat saat Febrian juga datang.
"Yang sudah selesai silahkan kumpul tugas yang kemarin." Katanya. Semua anak mulai mengumpulkan bukunya. "Hari ini gue pengen kalian membuat puisi untuk seseorang atau sesuatu, di sertai gambar. Kalian bisa mencarinya di sekitar lingkungan sekolah." Semua mengangguk, dan mulai beranjak.
"Susan, nama lo Susan, kan?" Susan yang tadinya hendak keluar berhenti.
"Iya, Kak."
"Lo wawancara Verga?"
"Iya. Habis cuma dia yang gue kenal." Susan menghadap ke Febrian. "Permisi Kak."
Setelah Susan keluar, cewek itu mulai menelusuri halaman sekolah. Tidak ada yang menarik. Matanya terhenti di lapangan, Verga yang terlihat begitu lihai dalam bermain basket. Sekali lemparan bisa dengan mudah memasukan bola ke dalam ring. Susan mana bisa begituan, mendrible bola saja tidak bisa. Yang ada bolanya tidak akan terpantul baik.
Susan masih menatap ke arah Verga, hingga cowok itu berbalik dan melambaikan tangannya. Susan menoleh ke kanan, kiri dan belakangnya tidak ada orang selain dirinya. Apa yang di maksud Verga dirinya?
Terlihat Verga tertawa. Tangannya memberikan isyarat agar Susan mendekat.
Susan menggeleng. Verga malah tersenyum, setelah menepuk pungung salah satu orang yang ada di dekatnya cowok itu mendekat ke Susan yang ada di pinggir lapangan.
"Lo terpesona sama gue?"
Susan menggeleng. "Enggak, lo bukan tipe gue."
"Really? Kok gue nggak percaya." Susan hanya geleng kepala.
"Udah, gue masih punya tugas."
"Apaan?"
"Bikin puisi."
"Gampang. Lo bikin aja puisi tentang gue." Verga menaik turunkan alisnya. Susan berdecak.
"Nggak sudi bikin puisi tentang elo."
"Aw, gue sakit hati." Kata Verga berlagak terluka dengan sangat dramatis. Susan melengos begitu saja. "Susan!"
***
Senja
Kau datang, lalu pergi.
Memberi harapan, lalu tidak bertahan.Aku tidak berharap, hanya satu pintaku. Jangan, jadi bagai senja. Indah, namun setelahnya mendatangkan gelap. Cerah, namun menyimpan kegelapan.
Sajak, lagu, tidak dapat ku lukis untukmu. Kau terlalu berharga.
"Ah, puisi apaan nih jelek amat." Susan merobek kertas yang di notebooknya.
Fajar
Setelah senja engkau datang
Terang, bagai cahaya.
Berharga bagai berlian."Ah, gue nggak bisa mikir." Susan memukul kepalanya menggunakan pulpen. "Kok gue selalu nggak bisa bikin puisi ya?" Keluhnya.
"Bicara sendiri, Neng." Entah sejak kapan Verga berada di belakang Susan. Cowok messy itu duduk di samping Susan. "Bikin apaan sih?"
"Puisi, gue nggak pernah bisa bikin puisi."
"Tapi kata Sheva lo waktu Smp pernah menang lomba puisi."
"Itu udah lama." Susan menggaruk kepalanya. "Ah, gila gue lama-lama."
"Bikin aja sesuai perasaan hati lo."
"Tapi gue disuruh buat puisi beserta gambar, dan foto itu harus diambil langsung."
"Emang senior lo tau kalo lo cari gambarnya di google?" Susan berfikir sebentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Versus
Ficção Adolescente"Vergara Saketa Rigelo, anak paling nakal, tukang bolos, player, dan yang terpenting Raja PHO!" "Wow," Verga berdecak kagum. "Lo hapal semua kelakuan gue, ternyata diam-diam elo stalker semua yang gue lakuin." Versus ©2017 ...