Susan memutuskan untuk tidak berlama-lama rumah Sheva, setelah pagi menjelang ia langsung meminta Brian untuk menjemputnya.
"Daah." Susan melambaikan tangan, Sheva membalasnya dengan lambaian tangan pula.
"Tumben lo cepat bener pulang dari rumah Kak Sheva." Brian bersuara setelah motornya keluar dari gerbang rumah Sheva.
Susan menggeleng. "Nggak, gue cuma... Rindu rumah?" Suaranya malah mirip orang bertanya.
"Lo aneh tau nggak, Kak?" Brian menghentikan motornya saat lampu lalu lintas berwarna merah.
"Ada sesuatu yang nggak bisa gue bilang, Bri." Susan menyandarkan kepalanya ke punggung Brian. "Kepala gue rasanya mau pecah." Susan menghela nafas.
"Jangan di pikirkan." Brian kembali melajukan motornya saat lampu berwarna hijau.
"Nggak bisa." Susan menghela nafas lelah. "Gue kok rindu sama Verga, ya?"
Brian terkekeh geli. "Mau ke rumah Bang Verga?"
Susan memukul bahu Brian. "Gue cuma bilang doang,"
"Ya siapa tau lo mau ketemu, gue dengan senang hati antar lo." Brian terkekeh. "Tapi, gue sarankan lo jangan terlalu baper."
"Dih, siapa yang baper?" Susan mendengus.
"Gue tau loh gimana cewek kalo jatuh cinta, Kak. Gue ini cowok, dan gue tau gimana tatapan cowok yang serius dan main-main."
"Kenapa tiba-tiba jadi serius?" Susan menatap horor karena nada serius dari ucapan Brian.
"Gue cuma nggak mau lo salah aja," Brian mengangkat bahu. "Bagaimana pun, gue mau lo bahagia. Lo Kakak gue, dan gue nggak mau lo nangis gara-gara cowok."
"Jadi lo sayang sama gue?" Susan tersenyum geli.
Wajah Brian tiba-tiba memerah. "S-siapa yang sayang sama lo. Geer." Brian berdeham, menetralkan rasa gugup bercampur malu yang datang.
"Padahal gue sayang loh sama lo, masa sih lo nggak sayang gitu sama gue." Susan dengan sengaja melingkarkan tangannya di pinggang Brian membuat Brian berjengit dan wajahnya semakin memerah.
"Kak.." Brian mulai merengek pelan, walau selalu bersikap cool aslinya Brian sangat gampang di buat blushing. Hanya bertanya tentang tipe cewek saja wajah cowok itu sudah akan berubah selesai kepiting rebus. Dia agak sensitif dengan cewek.
Susan tertawa, ia mengetatkan pelukannya. "Tapi, gue tau lo dan Papa adalah orang yang nggak bakal pernah sakiti gue, Bri. Jadi walau orang lain sakiti gue nggak pa-pa. Asal lo jangan, Papa juga."
Dan mulai saat itu, Brian bersumpah akan membuat orang yang menyakiti Kakaknya tidak akan bisa hidup bahagia.
***
Susan menatap langit yang menggelap, entah karena mendung atau karena bintang yang belum muncul.
Ponselnya tiba-tiba berdering, nama Verga terpampang jelas sebagai pelaku yang menelfon Susan.
"Gue ke rumah, ya?"
Susan memutar bola mata. "Ngapain sih? Ini bukan malam minggu, besok sekolah."
"Malam minggu 'kan lo sama Sheva, padahal harusnya lo sama gue. Tapi karena gue loyal, gue rela malam minggu lo sama Sheva. Tapi gue nggak terima kalo hari ini lo nggak mau jalan sama gue."
Susan terkekeh pelan. "Gue capek."
"Emang gue ajak lo lari apa?"
Susan berdecak kesal, membuat Verga di seberang sana terkekeh.
"Coba lihat ke depan." Susan menatap ke depan, tepatnya ke jalan depan rumahnya. "Nggak ada apa-apa, kan? Atau lo lagi membayangkan kalo gue ada di depan rumah lo sekarang."
Susan berdecak kesal, rasanya ingin menggigit Verga jika cowok itu ada di depannya sekarang.
Verga tertawa bahagia di seberang sana. "Makanya jangan terlalu percaya dengan omongan."
"Gue lupa kalo omongan lo nggak bisa di pegang." Susan memutar bola mata. "Udah, ah gue capek." Susan memutuskan panggilan itu, langsung berjalan masuk kembali ke dalam kamarnya.
Susan merebahkan tubuhnya di atas kasur, menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran melayang jauh.
Bahkan Susan tidak sadar jika pintu kamarnya di buka.
"Kak!" Susan tersentak, memegang dada karena kaget akan kehadiran Brian yang tiba-tiba.
"Ketuk dulu napa?" Susan merubah posisinya menjadi duduk.
Brian memutar bola matanya. "Gue udah ketuk berkali-kali, lo aja yang nggak dengar. Mikir apaan sih? Kak Verga?"
Susan mendelik, melempar guling yang ada di dekatnya ke arah Brian yang di tangkap oleh cowok itu dengan mudah.
"Kenapa jadi ke Verga sih?"
Brian mengangkat bahu, meletakan guling itu di atas kasur Kakaknya. "Siapa tau?" Adik Susan itu mengangkat bahu. "Mau ikut gue nggak?"
"Kemana?"
"Ke taman aja."
"Ngapain lo malam-malam ke taman? Mau ngepet? Lo mau nyuruh gue jaga lilin?"
Brian memutar bola matanya. "Untung lo Kakak gue, Kak."
"Emang kalo gue bukan Kakak lo kenapa?" Ucap Susan agak sewot.
"Gue buang ke sumur!" Kesal Brian.
Susan mendelik. "Berani?"
"Berani dong. Gue bahkan bisa lempar lo dari sini ke rumah Bang Verga!"
"Kok lo jadi sewot sih?"
"Lo nyolot!"
***
Susan memasukan tangannya ke dalam saku hoodie yang ia gunakan, dia berdiri sambil menatap sekitar taman yang sepi.
Sedangkan Brian yang membawa bola basket mendrible bola itu di lapangan kecil yang ada di taman.
"Dingin," Susan tersentak saat ada tangan lain yang bergabung di dalam saku hoodienya, bahkan kedua tangan dingin itu memegang kedua tangannya di dalam saku hoodienya. Membuat posisi seperti Susan di peluk dari belakang. "Tangan lo hangat." Verga menyelipkan jari-jarinya diantara jari Susan.
Susan berusaha lepas dari Verga, tapi cowok itu tidak melepaskannya malah semakin mengeratkan tangannya, bahkan menarik Susan ke belakang hingga bersandar.
"Ada, Brian." Susan melirik ke belakangnya, tapi Verga seakan tidak peduli. "Verga!"
"Emang kenapa sih? Brian juga ngerti kali." Verga bersikap tidak peduli. "Posisinya lagi enak juga."
Susan mendelik. "Gue merasa kalimat itu ambigu tau."
"Gue enggak, lo aja yang lagi mesum." Susan berdecak kesal, menarik diri dari Verga tapi cowok itu malah menariknya ke belakang hingga berbenturan dengan dada cowok itu. Verga dulu tidak pernah senekat ini dekat dengannya, tidak pernah sampai sedekat ini. Tapi setelah kejadian yang tidak sengaja Susan lihat di rumah Verga cowok itu seakan lebih posesif. "Tapi gue suka sih."
Susan mengigit bibir bawahnya. Antara gugup dan menahan senyuman. "Apa sih? Lepas ih! Lo main sama Brian sana. Dari tadi dia pura-pura nggak lihat tuh!"
Verga tertawa, melepaskan tangannya dari tangan Susan juga menarik tangannya dari saku hoodie Susan, membuat kesan ada yang menghilang. Kalau jujur posisi tadi itu sangat nyaman, tapi masa iya Susan bilang begitu. Malu dong.
"Besok berangkat sama gue."
Susan mendelik. "Kok maksa sih?"
Verga mengacak pelan rambut Susan gemas. "Karena lo itu kalo nggak paksa nggak mau nurut, bikin kesal tapi gue suka."
"Gombalan lo receh banget!"
"Siapa yang gombal? Itu cuma kata-kata bijak yang keluar dari mulut gue kalo lihat elo."
. . .
Lupa, kalo nggak ada cast buat cerita ini. Tapi aku udah pasang foto di mulmed, itu fotonya Verga ya. Yang lain nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Versus
Novela Juvenil"Vergara Saketa Rigelo, anak paling nakal, tukang bolos, player, dan yang terpenting Raja PHO!" "Wow," Verga berdecak kagum. "Lo hapal semua kelakuan gue, ternyata diam-diam elo stalker semua yang gue lakuin." Versus ©2017 ...